Jakarta, (ANTARA News)- "Seseorang di Amerika Serikat telah merancang konflik Georgia menjadi lebih parah sehingga menguntungkan salah seorang kandidat yang sedang memperebutkan kursi Presiden Amerika Serikat," kata Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin kepada CNN pekan lalu. Siapa yang dimaksud Putin dengan "seseorang" itu? Apakah seseorang itu juga mendesain konflik Georgia? Mingguan Jerman Der Spiegel (1/9) memaparkan, sejumlah orang di Washington percaya yang dimaksud "seseorang" oleh Putin tidak lain adalah Wakil Presiden AS Dick Cheney. Keterlibatan Cheney di Georgia terlihat jelas karena salah seorang penasihat paling berpengalaman dan terpercayanya, Joseph Wood, berada di Tblisi, Georgia, beberapa saat sebelum tentara Georgia melancarkan serangan ke Ossetia Selatan. Sejumlah sumber di Gedung Putih mengungkapkan, segera setelah konflik Georgia pecah, Cheney mendesak Presiden Bush mengirimkan tentara ke Georgia. Usulan ini ditentang Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice dan Menteri Pertahanan Robert Gates karena menurut mereka AS tak boleh lagi terlibat dalam perang baru mengingat usia pemerintahan Bush tinggal lima bulan. Sejak itu para pejabat Washington yakin, Cheneylah yang merancang konflik Georgia dengan tujuan membuat murka Rusia sehingga dunia tampak tegang seperti keadaan semasa Perang Dingin lalu, sekaligus menjadi pembenaran bagi dipertahankannya sikap keras AS ala Presiden Bush. Selain itu, Cheney geram pada Rusia karena terus membina kontak strategis dengan Iran, negara yang dianggap benalu bagi nafsu minyak Cheney ke utara Irak di Kaspia dan Kaukasus. Cheney kian sebal pada Rusia karena menghalang-halangi AS menambang minyak di wilayah eks Uni Soviet di Asia Tengah dan Kaukasus. "Kita mesti bekerjasama dengan negara-negara di Kaukasus dan Asia Tengah untuk menjamin sumber daya (energi) mengalir bebas (tak dihalangi siapa pun)," kata Cheney seperti dikutip AFP (3/9). Sebaliknya, Rusia gerah dengan sepak terjang AS karena merongrong kewibawaannya di mata bekas satelit-satelitnya di Asia Tengah, Semenanjung Krim dan Kaukasus. Moskow juga merasa ditampar habis-habisan karena satu demi satu bekas satelitnya mendekati Barat, merengek masuk NATO. Rusia merasa negara-negara itu adalah beranda rumahnya yang tak boleh diusik siapa pun, apalagi oleh AS. Kremlin juga mengkhawatirkan etnis Rusia di Ukraina, Moldova, Baltik, Georgia, Armenia, Azerbaijan dan lima negara Asia Tengah kaya minyak yang terus didekati juragan-juragan minyak pimpinan Cheney. Negara terluas di dunia yang meraih lagi supremasi ekonomi dan politiknya setelah lama terbenam menyusul ambruknya Uni Soviet ini, lalu mengintimidasi bekas satelitnya di Eropa Timur, Kaukasus dan Asia Tengah itu agar jangan berpaling dari Rusia. Dick Cheney yang merasa negaranyalah yang berhak mendikte dunia bukan Rusia, kian sebal terhadap Rusia yang main gertak pada tetangganya. Dongkrak popularitas Tak hanya demi minyak, tujuan Cheney mengusili Rusia adalah mendongkrak popularitas kandidat presiden Partai Republik, John McCain. "Ada banyak bukti yang menguatkan teori ini," tulis Der Speigel. Salah satu indikasinya adalah peran penasihat bidang luar negeri John McCain bernama Randy Scheunemann yang ternyata pelobi kepentingan Amerika Serikat di Georgia. McCain yang bersahabat dengan Saakhasvili berusaha memanfatkan kisruh Georgia untuk popularitasnya dalam pemilihan presiden melawan Senator Barack Obama. Georgia adalah kartu McCain untuk menunjukkan pada rakyat AS bahwa dunia yang dihadapi AS sekarang semakin keras sehingga harus dihadapi dengan sikap keras oleh pemimpin yang mau bertindak keras. Dan itu adalah McCain. Sementara itu, mengetahui Saakhasvili tak berterus terang, Eropa langsung enggan menghakimi Rusia. Eropa bahkan tak menggubris permintaan Cheney dan McCain untuk mengeluarkan Rusia dari kumpulan WTO dan G-8. Eropa mengerti jika Rusia patah arang karena dikucilkan maka akan sirnalah peluang Barat memenangkan perang melawan terorisme di Afghanistan, mengajak Korea Utara dan Iran duduk di perundingan, dan menetralisir globalisasi China. Awalnya Eropa mengira Rusia adalah biang keladi di Georgia, namun laporan intelijen Eropa menunjukkan Rusia telah sengaja dipancing marah sehingga dunia menjadi lebih tegang dan membenarkan sikap garang AS terhadap dunia. Dari laporan para pengamat militer Organisasi Keamanan dan Kerjasama Eropa (OSCE) yang berada di Georgia ketika konflik meletus, Presiden Saakashvili justru yang memulai konflik. OSCE menyadap pembicaraan telepon antara para pejabat Georgia sebelum serangan dilancarkan terhadap Ossetia Selatan. Hasil penyadapan menyimpulkan bahwa Saakhasvili telah bermain api di Kaukasus. "Saakhasvili seratus persen telah membohongi kami (OSCE), Eropa dan Amerika Serikat," kata sumber di OSCE. OSCE bahkan menengarai tentara Saakashvili telah menyerang penduduk Ossetia Selatan saat mereka tertidur lelap. Uni Eropa pun menjadi ragu pada Saakashvili sekaligus enggan tersedot dalam pusaran sikap keras Washington yang semakin dikeraskan John McCain dalam pidato Konvensi Partai Republik Jumat lalu di St Paul, Minnesotta. Tahu batas Tujuan McCain sendiri bukan Eropa, tapi ingin menjebak posisi Obama melalui konflik Georgia-Rusia. McCain lebih ingin meraih insentif politik di dalam negeri ketimbang membereskan kekalutan di Kaukasus. Dan McCain mendapatkan apa yang diinginkannya setelah rakyat AS mendaulatnya sebagai pahlawan karena berani mengerasi Rusia. Sebaliknya, popularitas Obama tergelincir sampai empat persen dalam semua jajak pendapat setelah Rusia mengintervensi Georgia karena Senator Illinois ini dianggap lemah terhadap Rusia. Semula, Obama bertahan pada penolakannya memakai cara keras dalam melindungi sekutu-sekutu AS di Eropa Timur, termasuk tidak buru-buru mengabulkan keinginan Georgia memasuki NATO. "Namun begitu Putin berulah di Georgia, Obama terpaksa bersikap sama keras dengan Presiden Bush dan McCain," kata penasihat kebijakan luar negeri Obama, Susan Rice. Kanselir Jerman Angela Markel yang pernah mendapatkan jawaban proaksi militer Obama ketika ditanyai soal Iran, mengaku kaget dengan perubahan sikap Obama ini. Tak hanya Obama, para pakar kebijakan luar negeri Partai Demokrat juga berubah keras. Tokoh-tokoh Demokrat yang selama ini moderat seperti Richard Holbrooke, John Kerry dan mantan penasihat keamanan Presiden AS semasa Jimmy Carter, Zbigniew Brzezinski, mendesak NATO mengakhiri kerjasama dengan Rusia dan mengeluarkannya dari G-8. Tentu saja pandangan untuk berlaku keras pada Rusia ini belum tentu menjadi arus umum di AS. Bahkan, sejumlah tokoh senior Partai Republik menolak bersikap keras pada Rusia dan dunia pada umumnya. Salah satunya adalah Henry Kissinger, tokoh senior Partai Republik yang diidolai McCain. Kissinger mengingatkan para pemimpin AS untuk tidak sembarangan mengeksploitasi kekuatan bangsa AS. "Kita mesti memahami apa yang bisa kita rengkuh, tapi juga kita mesti tahu batas-batasnya," kata Kissinger seperti dikutip New York Times (4/9).(*)
Oleh Oleh A. Jafar M. Sidik
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008