Pemerintah perlu memiliki kerangka kebijakan dan strategi untuk mengarusutamakan akses energi bersih memasak yang universal dan mendorong masyarakat untuk menerapkan 'clean cooking'
Jakarta (ANTARA) - Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pemerintah perlu melanjutkan program konversi minyak tanah ke elpiji untuk menyebarluaskan penerapan cara memasak dengan energi yang bersih di masyarakat.
"Pemerintah perlu memiliki kerangka kebijakan dan strategi untuk mengarusutamakan akses energi bersih memasak yang universal dan mendorong masyarakat untuk menerapkan clean cooking," kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa di Jakarta, Senin.
Untuk itu, ujar dia, pemerintah perlu membuat peta jalan penyediaan akses energi bersih memasak, yang mencakup pemetaan sumber energi yang tersedia, tidak hanya elpiji namun juga biomassa, serta selaras dengan kebutuhan masyarakat, infrastruktur pendukung yang diperlukan, standar kompor bersih, serta mekanisme pembiayaan.
Peta jalan tersebut, lanjutnya, harus menjadi acuan lintas kementerian dan pemda untuk pencapaian target universal clean cooking, antara lain dengan mendorong partisipasi aktif instansi lain seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pemda dan lembaga nonpemerintah.
Baca juga: BPPT dan institusi Jepang perkuat riset energi bersih dan kebencanaan
Ia juga menekankan pentingnya prioritaskan pengembangan teknologi atau sumber bahan bakar bersih setempat sebagai sumber energi transisi dalam jangka waktu kurang dari lima tahun mendatang.
"Jadikan sumber bahan bakar bersih terbarukan setempat dengan teknologi yang sesuai sebagai prioritas penyediaan energi bersih memasak di daerah yang dalam minimal lima tahun ke depan belum menjadi sasaran distribusi elpiji dan perluasan jaringan gas," katanya.
IESR juga menekankan pentingnya melanjutkan program Zero Kero atau konversi dari minyak tanah ke elpiji, untuk mencapai lebih banyak wilayah di Indonesia dengan sistem subsidi tertutup, terutama di kawasan timur Indonesia.
Baca juga: Bappenas dorong komitmen energi bersih terbarukan guna pencapaian SDGs
Sementara itu, peneliti IESR Hapsari Damayanti mengemukakan dari penelitian yang dilakukan di sejumlah desa di NTT, ternyata masih ada penduduk yang mengandalkan kayu bakar dan tungku tiga batu.
"Mereka yang menggunakan metode memasak tradisional dapat menghabiskan waktu hingga lebih dari tujuh jam per minggu, dan kaum perempuan menjadi pihak yang terkena dampaknya, tak hanya waktu namun juga berdampak kepada risiko kesehatan akibat terpapar asap dan risiko-risiko lainnya saat pengumpulan kayu bakar," kata Hapsari Damayanti.
Meski memasak menggunakan kayu bakar menimbulkan beberapa masalah kesehatan, lanjutnya, tetapi masyarakat cenderung enggan berpindah ke bahan bakar yang lebih bersih antara lain karena kayu bakar tersedia secara gratis, serta mereka juga menunggu masuknya akses listrik masuk terlebih dahulu ke tempat tinggal mereka.
Baca juga: Masyarakat pun harus menjadi pemain utama dalam transisi energi
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2019