Akses energi harus bisa membantu masyarakat keluar dari garis kemiskinan
Jakarta (ANTARA) - Pencapaian rasio elektrifikasi, yang kini hampir menjangkau seluruh masyarakat di Tanah Air, diharapkan memperhatikan kualitas akses energi dan bukan hanya sekadar memastikan ada sambungan listrik atau tidaknya.
"Selama ini akses listrik yang diukur, biasanya hanya berapa rumah tangga berlistrik atau berapa desa yang sudah masuk jaringan listrik," kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa dalam diskusi "Meningkatkan Kualitas Akses Energi di Indonesia untuk Pembangunan Manusia yang Berkelanjutan" di Jakarta, Senin.
Baca juga: Rasio elektrifikasi nasional capai 98,86 persen
Fabby menyoroti definisi akses energi selama ini adalah hanya terkait ketersediaan secara fisik dan pada pengguna berupa perbaikan penggunaan perangkatnya.
Namun, menurut dia, definisi tersebut tidak memadai karena akses energi seharusnya tidak sekadar memasok energi, tapi dapat membantu mengatasi kemiskinan.
Dengan kata lain, ujar dia, akses energi juga harus membuka kesempatan bagi orang miskin untuk memiliki pilihan-pilihan kehidupan, yang lebih baik melalui pemanfaatan energi, sehingga mendapatkan penghasilan yang lebih besar bagi keluarganya.
"Akses energi harus bisa membantu masyarakat keluar dari garis kemiskinan," kata Direktur Eksekutif IESR.
Fabby memaparkan implikasi dari hal tersebut adalah ketersediaan energi secara andal dan cukup baik kuantitas maupun kualitas serta teknologi yang terkait dengan harga terjangkau, memperhatikan penerimaan secara sosial, dan keberlanjutan lingkungan.
Dengan demikian, lanjutnya, maka akses energi juga dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia dan memberdayakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia.
"Karena itu, definisi akses energi perlu mencakup kualitas, keandalan, kecukupan, keterjangkauan, dapat diterima, dan layak secara lingkungan," ucap Fabby.
Kementerian ESDM mencatat rasio elektrifikasi nasional hingga September 2019 mencapai 98,86 persen atau naik 0,56 persen dari Desember 2018 yang 98,3 persen.
"Hingga September 2019, rasio elektrifikasi nasional mencapai angka 98,86 persen. Keadilan atau pemerataan diwujudkan dalam rasio elektrifikasi ini," ungkap Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana.
Ia mengemukakan selama empat tahun terakhir ini capaian rasio elektrifikasi nasional rata-rata tiga persen per tahun dari rata-rata sebelumnya yang hanya mencapai satu persen.
Pemerintah terus memacu peningkatan rasio elektrifikasi di wilayah tertinggal dari daerah lainnya yang rata-rata sudah mencapai 99 persen.
Untuk mencapai target rasio elektrifikasi pada akhir 2019, masih terdapat 1.103.859 rumah tangga yang harus dilistriki.
Dari rumah tangga tersebut, berdasarkan basis data terpadu Badan Pusat Statistik (BPS) dan hasil verifikasi PT PLN (Persero), 710.008 rumah tangga di antaranya merupakan masyarakat tidak mampu, dengan jaringan listrik sudah di depan rumah, namun tidak dapat membayar sambungan pasang baru karena ketidakmampuan ekonomi.
Untuk melistriki rumah tangga tidak mampu tersebut, Kementerian ESDM mencanangkan program Bantuan Pasang Baru Listrik (BPBL) 450 VA untuk masyarakat tidak mampu dari program sinergi BUMN, CSR PT PLN (Persero), APBD, program one man one hope PT PLN (Persero) dan program Kementerian ESDM Peduli.
Baca juga: Rasio elektrifikasi ditargetkan 99,90 persen pada 2019
Baca juga: Rasio elektrifikasi NTT capai 82,97 persen per Oktober 2019
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2019