Yogyakarta (ANTARA News) - Jika anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat tetap nekat pergi ke luar negeri dengan alasan melakukan sosialisasi pemilihan umum, maka kepergian tersebut dapat diartikan sebagai aktualisasi diri yang kurang tepat. Pendapat tersebut disampaikan pengamat politik dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Stefanus Nindito MSi, di Yogyakarta, Sabtu. "Kepergian ke luar negeri tersebut mengandung unsur `wah` yang bisa memancing kritikan dari berbagai kalangan, sementara produktivitasnya masih dipertanyakan," kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UAJY itu. Menurut dia, KPU pusat harus dapat menilai implikasi, esensi dan kebutuhan dari setiap program yang mereka buat, seperti program sosialisasi pemilu ke luar negeri disertai studi banding mengenai sistem pemilu di beberapa negara asing. Dengan bepergian ke luar negeri, implikasi yang langsung terlihat yaitu dari sisi biaya yang harus dikeluarkan. "Tentu membutuhkan budget yang besar untuk pergi ke 14 negara," katanya. Sedangkan dari sisi kebutuhan, ia melihat belum tentu sistem pemilihan yang dianut oleh suatu negara tertentu dapat diterapkan di Indonesia. Jika demikian, ia menilai anggota KPU tidak perlu datang langsung ke negara yang bersangkutan hanya untuk mengetahui sistem elektoral di negara itu. "Mereka masih bisa melihat dan belajar dengan menggunakan teknologi informasi yang sudah berkembang pesat saat ini," katanya. Hal penting yang justru harus dilakukan KPU saat ini, lanjut Nindito, adalah membangun sistem pemilihan yang komprehensif sehingga seluruh suara dan aspirasi masyarakat bisa tersalurkan.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008