Praktik menggunakan berbagai cara yang dilakukan petani tembakau di Madura untuk meninggikan kualitas tembakaunya bisa dilihat sebagai bentuk "perlawanan" atas ketidakberdayaan.
Sudah puluhan tahun petani tembakau tidak bisa lagi menikmati hasil pertanian yang dulu sempat mendapat julukan "daun emas" itu.
Disebut daun emas karena saat kejayaannya dulu, petani mampu membeli emas dalam jumlah banyak setiap usai panen tembakau.
Namun kini, "daun emas" tidak lagi pantas disandang tembakau Madura karena petani selalu terpuruk akibat harga yang ditentukan sepihak oleh pabrikan.
Kualitas tembakau yang ditentukan tanpa standard itu memberi peluang pada pabrikan untuk selalu di atas petani. Petani tidak bisa berbuat apa-apa ketika pabrikan memvonis tembakaunya jelek.
"Selama ini petani tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menerima semua bentuk kebijakan pabrikan, meski hal itu sangat merugikan petani," kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemkab Pamekasan Mohamad Bahrun.
Dalam ketidakberdayaan menghadapi "keperkasaan" pabrikan itulah, petani memutar otak. Mereka dihantui penolakan pabrikan.
Hal yang menakutkan petani adalah jika setelah dijemur di atas tikar selama dua hari tembakaunya tidak langsung laku. Pembungkusan tembakau kering dengan tikar itu biasanya dilakukan dari sore hingga malam hari.
Saat malam hari itulah calon pembeli sudah menunggu, yaitu bandol dan "tukang tongkok" (sebutan untuk pedagang yang hanya mengambil keuntungan dari komisi).
"Tukang tongkok" biasanya tidak memiliki modal karena hanya menjadi perantara.
Jika esoknya tembakau tidak laku, petani resah karena biasanya tembakau itu akan dipandang sebelah mata oleh pedagang lainnya.
Istilah petani, kalau tembakau kering menginap sampai dua hari, maka itu pertanda akan sulit dijual.
Pada kondisi terpepet dan mesti berpacu dengan waktu seperti itu, asalkan tidak sampai menginap lebih lama di rumah, para petani terpaksa melepas tembakaunya meski harganya sangat murah.
Para petani mengaku, menyadari "perlawanan" dengan berbagai cara itu tidak baik, namun mereka tidak bisa meninggalkannya karena cara seperti itu membuat mereka bisa menyambung hidup.
"Memang, orang cina menyebut petani itu menipu diri sendiri. Tapi mau bagaimana lagi? Kalau tidak seperti ini, tembakau saya bisa-bisa tak laku," kata Mohamad.
Petani tembakau di Madura biasa menyebut pemilik pabrikan dengan "Cina" karena umumnya para pemiliknya memang etnis keturunan cina.
Para petani mengaku sebetulnya mereka mau menjual tembakau apa adanya, namun selalu kalah oleh bayang-bayang kekhawatiran tidak laku atau harga jual yang rendah.
Bagi petani Madura, khususnya Kabupaten Pamekasan dan Sumenep, tembakau adalah segalanya.
Jika dalam waktu tiga bulan lebih antara Mei hingga awal Agustus mereka gagal, maka artinya mereka gagal selama satu tahun.
Umumnya, penghasilan petani di Madura yang diwujudkan menjadi uang adalah tembakau, sedangkan tanaman lain seperti padi, jagng dan ketela hanya untuk persediaan makan selama setahun.
Beberapa petani mencoba menghasilkan uang di luar tembakau dengan menanam kacang hijau, wijen dan kacang tanah, namun hasilnya tak mampu menyamai tembakau.
Oleh karena itu, mereka berupaya keras agar tembakaunya tidak gagal dijual.
Memelihara tanaman tembakau juga tergolong sangat rumit dan berat. Tidak jarang petani harus bekerja siang malam untuk merawat tanamannya. Dua bulan sejak awal tanam adalah masa-masa paling berat bagi petani.
Kalau nelayan Madura mengenal istilah "asapok angin abantal ombak" atau berselimut angin berbantal ombak karena kerasnya perjuangan di laut, perjuangan petani tembakau juga tak kalah keras dari itu.
Setiap hari mereka harus menyiram tembakau muda satu per satu. Penyiraman kadang dilakukan malam hari sesuai giliran air dialirkan dari sumbernya yang memang harus berbagi dengan petani lain.
Mereka juga dituntut untuk rajin menyiangi rumput, memberi pupuk dan mencari ulat agar daun tembakau tidak berlubang-lubang. Kadangkala, ulat-ulat hama itu disemprot pestisida.
Memasuki bulan ketiga, mereka belum juga bisa tidur nyenyak, meskipun dari segi perawatan sudah tidak terlalu menyita waktu dan tenaga.
Setelah usia dua bulan, tembakau sudah tidak perlu lagi disiram.
Pada masa itu, petani hanya berhadapan dengan cuaca yang dalam beberapa tahun terakhir tidak menentu. Seringkali hujan turun meskipun musim kemarau.
Hujan menjadi momok utama para petani yang menunggu masa panen.
Musim panen tahun ini, petani tak luput dari ketakutan itu. Pada sore hingga malam hari mereka selalu resah karena awan gelap sering muncul di langit.
"Kalau sudah muncul awan hitam, kami hanya bisa berdoa mudah-mudahan tidak sampai turun hujan. Kalau sampai hujan, maka yang kami tanam dan pelihara sejak tiga bulan akan habis tanpa hasil," kata Ahmadi, seorang petani.
Ahmadi menuturkan, jika hujan turun saat akan panen, maka tembakau tidak akan bisa dipanen. Walaupun bisa, hasil rajangannya tidak akan laku. Kalau pun laku, hasilnya tidak sesuai dengan ongkos tanam dan perawatannya.
Karena itu di tahun-tahun lalu banyak petani yang kemudian membiarkan tanaman yang sudah tampak akan menghasilkan uang itu layu karena diguyur hujan. Mereka menempuh itu karena biaya untuk memanen jauh lebih besar dari harga jualnya.
Melihat kondisi itu, demikian Saiful Bahri dari UNIRA, pemerintah daerah turun tangan membela petani dengan membentuk tim tata niaga tembakau untuk mengantisipasi kecurangan pembeli di gudang.
Mohamad Bahrun mengatakan, tim itu adalah gabungan dari berbagai unsur seperti pemerintah, LSM, APTP (Asosiasi Petani Tembakau Pamekasan) dan beberapa wakil rakyat.
"Tim ini mengawasi pengambilan sampel tembakau dan potongan timbangan. Tahun lalu, pengambilan sampel tembakau itu satu kg per bal, tapi tahun ini pemerintah mengharuskan pabrikan membeli sampelnya," kata Mohamad.
Selain itu, yang juga akan diawasi ketat oleh tim adalah potongan timbangan per satu bal.
Tahun lalu, potongan yang ditetapkan pabrikan sebanyak tiga kg per bal untuk yang beratnya di bawah 30 kg dan empat kg untuk yang beratnya di atas 30 kilogram.
"Kita berharap cara seperti ini membuat petani tidak lagi menjadi sapi perah pabrikan," kata Mohamad Bahrun.
Namun, upaya pemerintah daerah masih jauh dari harapan menyejahterakan petani karena sejumlah petani yang menjual langsung ke pabrikan masih dikenai potongan dua kg per bal.
Petani juga masih menghadapi praktik curang dari "bandol" atau pembeli di bawah pabrikan.
Thomas Santoso dalam bukunya "Juragan dan Bandol; Studi Antropologi Ekonomi tentang Pialang Tembakau di Madura," menyinggung peran bandol atau pembeli yang berhubungan dengan petani ini, selain juga juragan atau pabrikan, dalam proses jual beli tembakau di Madura.
Petani Madura biasa menyebut pabrikan dengan gudang atau pemilik gudang.
Bandol adalah kepanjangan tangan dari pabrikan, sedangkan pabrikan adalah kepanjangan tangan dari pabrik rokok.
Kalau pemerintah bisa mengontrol pabrikan, maka tidak mudah bagi bandol untuk membeli langsung tembakau dari petani.
Menurut Arsawi, petani asal Kecamatan Galis, saat ini banyak bandol yang membeli tembakau petani dengan harga "lebih tinggi" dari harga pabrikan. Namun pada praktiknya, petani dirugikan.
"Kalau tembakau saya ditawar bandol seharga Rp25 ribu per kilogram, lebih baik saya jual ke pabrikan seharga Rp20 ribu per kg. Bandol itu banyak curangnya karena bisa kita bisa kehilangan tiga kilogram tembakau dalam setiap bal (rata-rata 50 kg)," jelas Arsawi.
Selain itu, di setiap bal, bandol masih memotong "kepala". Artinya, kalau setiap bal beratnya 50 kg, maka potongannya lima kg, kalau 40 kg dipotong empat kg.
"Jadi untuk satu bal yang beratnya 50 kg, petani bisa kehilangan tembakau delapan kg. Bayangkan kalau saya menjual lima bal? Kan saya bisa kehilangan satu bal. Jadi lebih baik saya jual ke gudang," kata Arsawi lagi.
Namun demikian, katanya, tidak semua petani bisa menjual langsung ke pabrikan karena harus memiliki hubungan dengan orang dalam.
Untuk mengirim tembakau ke pabrikan, petani harus memiliki kartu khusus atau kenal dengan "orang dalam". (*)
Oleh Masuki M. Astro
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2008