"Kemiskinan itu, kata Rasulullah, hampir bisa membawa orang kepada kekafiran. Kemiskinan itu bisa membuat orang menjadi kafir karena lemah, mudah dibujuk, mudah diprovokasi, mudah dibeli imannya karena dia miskin," kata Wapres Ma'ruf saat menghadiri Peringatan Maulid Nabi di di Masjid Jami' Baitul Muhtadi di Kecamatan Kresek, Kabupaten Tangerang, Banten, Sabtu malam.
Baca juga: Menag: Rasulullah teladan integritas
Baca juga: Presiden Jokowi : peringatan Maulud Nabi ingatkan misi kenabian
Baca juga: Jokowi serukan hijrah di depan 100.000 Ansor-Banser
Untuk menjadi negara maju, yang salah satunya dengan terlepas dari perangkap pendapatan menengah (middle income trap), harus ada upaya-upaya untuk meningkatkan perekonomian dan mencetak SDM yang berkualitas, kata Wapres.
"Kita ingin Indonesia menjadi negara maju, negara yang ekonominya kuat. Makanya, warganya juga harus kuat, mampu mengembangkan dunianya, harus pintar, harus bisa hidup layak," tegasnya.
Kemiskinan menjadi salah satu tugas yang diberikan Presiden Joko Widodo kepada Wapres Ma'ruf Amin untuk diatasi, melalui Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang dikoordinasikan oleh Wapres.
Berdasarkan data TNP2K, tingkat kemiskinan di Indonesia hingga Maret 2019 tercatat sebesar 9,41 persen. Angka tersebut akan terus ditekan di masa pemerintahan Jokowi-Ma'ruf, dan jika perlu dihilangkan supaya tidak ada lagi masyarakat miskin dan cita-cita Indonesia menjadi negara maju dapat terwujud.
Dalam beberapa kesempatan, Wapres Ma'ruf mengatakan targetnya untuk menghilangkan kemiskinan serta menurunkan angka stunting pada anak hingga mencapai ambang batas Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization).
Untuk mencapai target tersebut, Wapres mengatakan penanggulangan kemiskinan dan stunting pada anak merupakan gerakan nasional, sehingga angka kemiskinan di Indonesia dapat ditekan sekecil mungkin, bahkan kalau bisa dihilangkan.
"Oleh karena itu, jangan sampai anak, cucu kita miskin. Ini yang harus kita upayakan supaya anak-anak kita bisa hidup layak di dala, kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara," ujarnya.
Terkait istilah "kafir", Nahdlatul Ulama (NU) melalui Bahtsul Masail Maudluiyah telah memutuskan untuk tidak menggunakan istilah tersebut yang mengacu kepada kelompok non-Muslim.
Menurut NU istilah kafir berlaku bagi orang-orang penyembah berhala yang tidak memiliki kitab suci dan tidak memiliki agama yang benar ketika Nabi Muhammad di Makkah.
Ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, istilah "kafir" tidak ditujukan kepada warga non-Muslim di Kota tersebut, karena ada tiga suku non-Muslim di sana tetapi tidak disebut kafir.
Pewarta: Fransiska Ninditya
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019