Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mengatakan dalam menanggapi itu, pemerintah tentu memiliki prasyarat dan tidak serta merta melakukannya.
“Ada syaratnya nanti coba dibaca lagi, itu bisa disimpan di luar negeri selama sistem di dalam negeri tidak tersedia,” kata Direktur Proteksi Ekonomi Digital BSSN, Anton Setiyawan di Jakarta, Sabtu.
Ia menjelaskan bahwa PP 71 menyampaikan bahwa untuk data yang strategis tetap harus berada di Indonesia.
"Kalau yang bersifat layanan privat dan klasifikasinya rendah, itu boleh di luar negeri selama sistem di dalam negeri tidak tersedia. Maksudnya tidak ada pendukung seperti data center, layanan cloud dan lain-lain," ujar dia.
Kini, fokus BSSN adalah mendorong industri layanan data center dan cloud computing di dalam negeri untuk bisa bisa tumbuh dan berkembang.
“Sehingga yang privat pun kalau mau keluar enggak perlu, di dalam sudah ada. Tapi kalau enggak ada di dalam, ya mereka pasti akan keluar. Karena industri privat yang pertama adalah ketersediaan (reliable)," kata dia.
"Bagaimana orang mau dagang, sistemnya enggak terbackup? Pasti orang memilih cloud yang di luar, pasti begitu. Jadi pemerintah seimbangkan," kata Anton.
Baca juga: BSSN dan pakar Teknologi Informasi sepakat Pegasus ilegal
Baca juga: Polemik Pegasus di WA, BSSN gelar diskusi soal keamanan siber
Baca juga: BSSN sebut kolaborasi diperlukan antisipasi serangan Siber
Namun, Pakar Keamanan Teknologi Informasi Gildas Deograt Lumy yang berada di sebelah Anton menyatakan tidak setuju dengan dibolehkannya data nonstrategis disimpan di luar negeri.
"Mungkin karena pak Anton dari Pemerintah (BSSN), kalau saya kan tidak," ujar Gildas
Kendati demikian, Gildas mengaku ia ikut dalam pembuatan PP 82/2012 sebelum akhirnya direvisi menjadi PP 71/2019 tentang PSTE yang berlaku sekarang.
“Saya ikut di Tim Perumusan Draf PP PSTE 82/2012 bersama teman-teman lain ditunjuk oleh Menteri saat itu. Dan diskusi yang panas dalam PP 82 salah satunya yang kemudian direvisi di PP 71,” ujar Gildas.
Gildas mengaku cukup lama mereka memproses Peraturan itu, yaitu dari tahun 2009 hingga akhirnya disahkan di tahun 2012. Alasannya, karena tekanan cukup keras saat itu dari Asosiasi Bank Asing.
“Jadi, silahkan diterjemahkan sendiri. Ini sebetulnya diskusi klasik,” ujar Gildas.
Ia mengatakan jika pemerintah kemudian berpatokan pada PP 82 yang disahkan tujuh tahun lalu itu, seharusnya industri Cloud Computing dalam negeri bisa berkembang lebih baik.
Ia merasa pengaplikasian PP 82/2012 itu tidak dibarengi penegakan hukum yang maksimal. Akhirnya, PP tersebut pun direvisi menjadi PP 71/2019.
“Masalahnya, di kita hukum lengkap. Tapi penegakan hukumnya bermasalah,” kata Gildas.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019