Purworejo (ANTARA News) - Para petani Desa Grabag, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, memprotes tuntutan ganti rugi sekitar Rp1,65 miliar kepada pemodal pengembangan padi jenis supertoy karena gagal panen.
Kepala Desa Grabag, Gandung Sumriyadi, di Purworejo, Kamis (4/9), mengatakan, tuntutan disampaikan kepada P.T. Sarana Harapan Indopangan (SHI) yang melakukan budidaya bibit padi supertoy di areal sawah desa itu.
Pada 17 April 2008 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Ibu Negara Kristiani Yudhoyono dan sejumlah menteri melakukan panen perdana padi supertoy di areal tersebut.
Pengembangan budidaya supertoy di desa itu, katanya, semula seluas 103,01 hektare. Luas lahan persawahan di desa bagian selatan Purworejo itu sekitar 197 hektare. Kini, areal padi supertoy tinggal sekitar 96,32 hektare karena sejumlah petani beralih menanam padi IR setelah gagal panen.
"Tuntutan itu sesuai dengan harga gabah sekarang, tuntutan kerugian satu ubin Rp24 ribu," katanya. Satu hektare lahan sama dengan 714,28 ubin.
Surat tuntutan disampaikan kepada Direktur P.T. SHI yang beralamat di Jakarta sebagai pemodal pengembangan jenis padi yang dipromosikan bisa panen sebanyak tiga kali dalam satu kali tanam.
Sebenarnya, katanya didampingi seorang anggota KPP (Konsultan Pendamping Petani) P.T. SHI yang juga warga desa setempat, Bustanuddin, dan mantan Wakil Ketua Panitia Sosialisasi Padi Supertoy, Sugiyanto, saat panen perdana lalu, sebagian petani telah gagal panen.
"Waktu itu petani sudah resah karena tidak ada MOU (Nota Kesepahaman) antara petani dengan investor, tetapi kemudian SHI membuat surat kesanggupan untuk memberikan ganti rugi jika gagal panen. Surat tertanggal 4 April 2008 itu ditandatangani Iswahyudi sebagai pimpinan P.T. SHI," katanya.
Pemodal, katanya, pernah menyampaikan kesanggupan membeli panenan seharga Rp2.500 per kilogram Gabah Kering Panen (GKP) dikurangi biaya produksi.
Setiap petani yang gagal panen pertama menerima ganti rugi Rp2,3 juta dikurangi dengan biaya produksi. Musim panen "singgang" kali ini, para petani menghadapi gagal panen lagi dan sebagian besar padi dalam kondisi gabuk karena serangan hama dan tidak ada bimbingan secara intensif dari petugas P.T. SHI.
Pimpinan P.T. SHI yang bertugas di desa itu, katanya, berganti-ganti orang dalam waktu relatif singkat dan yang terakhir telah kabur sejak beberapa hari lalu, dan hingga saat ini tidak bisa dikontak.
"Jika nantinya, setelah seminggu surat kami diterima dan tidak ada realisasi kami akan mengajukan tuntutan secara hukum," katanya.
Ketika program itu hendak dilakukan di desa setempat, kata dia, dirinya tidak diminta izin.
"Yang `singgang` sekarang ternyata gagal panen lagi, kalau waktu panen pertama di rumah petani masih ada sisa panenan IR, tetapi sekarang mereka tidak punya simpanan panenan lagi, apalgi sekarang mau Lebaran, jadi petani di sini menangis," katanya.
Sugiyanto mengatakan, lahan sawahnya yang ditanami padi supertoy seluas sekitar 500 meter persegi.
Panen padi di lahan seluas satu iring atau 125 ubin yang diperkirakan sekitar 2,5 ton, katanya, ternyata hanya mampu antara empat hingga enam kuintal GKP. Saat lahannya ditanami IR, panenannya antara 1,5 hingga 1,6 ton per iring.
Bustanudin mengatakan, penghitungan ganti rugi gagal panen yang dijanjikan oleh pemodal adalah total hasil panen padi kali Rp2.500 kali 2,5 atau satu kilogram GKP sebesar Rp6.500.
"Itu dipotong antara lain untuk pupuk dan obat-obatan yang jumlahnya bisa mencapai Rp1,3 juta, kalau untuk IR hanya sekitar Rp200 ribu," katanya.
Ia mengatakan, penggunaan pupuk untuk padi supertoy bisa sebanyak 300 kilogram per hektare sedangkan untuk IR yang biasa ditanam petani setempat sebanyak 75 kilogram per hektare.
Jumlah petugas KPP di desa itu, katanya, sebanyak 20 orang yang terdiri 10 orang warga Grabag dan 10 lainnya warga Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Petugas KPP dari Grabag mendapat bayaran melalui kiriman rekening di bank Rp500 ribu per bulan sedangkan dari Bantul Rp600 ribu per bulan.
"Biasanya dibayarkan akhir bulan, tetapi akhir bulan kemarin (Agustus,red) sudah tidak menerima kiriman lagi," kata Bustanuddin.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008