ke depan, sertifikasi lingkungan untuk produk-produk nasional yang berorientasi ekspor menjadi semakin urgen untuk segera disusun langkah-langkah antisipasinya

Jakarta (ANTARA) - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mendorong produk-produk Indonesia memiliki sertifikat produk yang ramah lingkungan atau Environmental Product Declaration sehingga mampu bersaing dan mengambil pasar lebih besar di pasar global.

"Konstelasi perdagangan dunia saat ini mulai mensyaratkan sertifikat produk yang ramah lingkungan. Oleh karena itu, produk-produk lokal Indonesia yang berorientasi ekspor rentan terhadap kebijakan global ini," kata Koordinator Life Cycle Assessment Pusat Pengkajian Industri Proses dan Energi BPPT Nugroho Adi dalam Seminar National ILCAN Conference Series on Life Cycle Assessment (4th ICSoLCA) Implementation to Support National Green Industry Challenges, Jakarta, Kamis.

Nugroho yang juga pengurus Indonesia Life Cycle Assessment Network itu memberi contoh kasus dihambatnya produk minyak sawit Indonesia beredar di pasar Uni Eropa. Salah satu penyebabnya, antara lain karena produk minyak sawit nasional dianggap tidak memiliki sertifikasi lingkungan dan berkontribusi besar terhadap perusakan lingkungan.

Tidak hanya Uni Eropa, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) juga sudah melakukan ancang-ancang mengeluarkan kebijakan untuk produk-produk global wajib memiliki Environmental Product Declaration.

"Sehingga ke depan, sertifikasi lingkungan untuk produk-produk nasional yang berorientasi ekspor menjadi semakin urgen untuk segera disusun langkah-langkah antisipasinya, agar mampu bersaing di pasar internasional di era digitalisasi industri 4.0," tuturnya.

Baca juga: Gubernur Bali dukung produk inovatif yang ramah lingkungan

Peran dan aplikasi Penilaian Daur Hidup (Life Cycle Assessment) menjadi esensial sebagai dasar dalam penilaian untuk Environmental Product Declaration. Life Cycle Assessment atau analisis siklus hidup adalah teknik untuk menilai dampak lingkungan yang terkait dengan semua "tahap kehidupan" produk sejak dari ekstraksi bahan baku, pemrosesan bahan, pembuatan, distribusi, penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan sampai dengan pembuangan atau daur ulang.

Metode LCA terdiri atas empat tahap, yaitu menentukan lingkup dan sasaran, menyusun inventarisasi "input" energi, material dan buangan lingkungan yang relevan, mengevaluasi dampak potensial, serta menafsirkan hasil untuk membantu membuat keputusan yang lebih tepat.

BPPT juga mendorong Indonesia memiliki basis data nasional inventarisasi semua produk terkait LCA.

Untuk mendapatkan hasil LCA yang komprehensif, tahap inventarisasi merupakan tahapan yang krusial. Namun demikian, Indonesia sampai saat ini belum memiliki cukup Life Cycle Inventory (LCI) sebagai basis data untuk perhitungan dan analisa kebijakan yang dibutuhkan.

LCI nasional berbasis basis teknologi informasi yang kuat dan aman diperlukan untuk mendukung program nasional pemerintah dalam Green Economy Policy.

Oleh karena itu, pertemuan ilmiah dalam Seminar Nasional ILCAN merupakan langkah awal untuk mengajak semua pemangku kepentingan agar mendorong pembangunan LCI National Database and Research Center.

Pada acara itu, juga ditandatangani nota kesepahaman antara BPPT dan Indonesia Life Cycle Assessment Network (ILCAN) untuk kerja sama Development of Indonesian Life Cycle Inventory (IND-LCI) Database for Life Cycle Assessment (LCA) serta Letter of Intent (LOI) antara BPPT dengan GREENDELTA GmbH (Open Source OPENLCA) Jerman untuk pembangunan kapasitas untuk membangun Software dan Life Cycle Inventory.

Baca juga: Cukai kantong plastik geliatkan produk ramah lingkungan
Baca juga: Kemendag dukung peningkatan produk ramah lingkungan
Baca juga: Mahasiswa teknik sipil diperkenalkan produk semen ramah lingkungan

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019