Produk pertanian juga harus melalui rantai distribusi yang panjang
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Amanta menyatakan pentingnya memutus rantai distribusi bahan makanan yang panjang dari produsen ke konsumen karena akan berdampak kepada pembenahan ketahanan pangan.
"Produk pertanian juga harus melalui rantai distribusi yang panjang," kata Felippa Amanta dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Menurut Felippa, panjangnya rantai distribusi menyebabkan tingginya biaya transportasi yang pada akhirnya akan memengaruhi harga jual di tingkat konsumen.
Selain itu, ujar dia, industri pengolahan makanan dan minuman pun mengalami tantangan tersendiri, seperti banyaknya regulasi yang menambah ongkos dan adanya keterbatasan impor bahan baku.
Ia mengungkapkan, ada banyak faktor lainnya yang juga menyebabkan tingginya harga pangan, beberapa di antaranya adalah tantangan-tantangan produksi pertanian, seperti perubahan iklim dan cuaca, infrastruktur irigasi yang belum memadai, kurangnya sumber air bersih, kurangnya penggunaan teknologi, berkurangnya lahan pertanian, petani yang semakin sedikit dan menua dan rendahnya produktivitas pertanian.
Ia juga berpendapat bahwa salah satu opsi solusi lain untuk keterjaungkauan pangan yang bisa menjangkau seluruh masyarakat tanpa terbatas persyaratan adalah dengan impor.
"Impor bisa mendatangkan ketersediaan pangan yang beragam, berkualitas dan terjangkau dari negara lain sesuai dengan keunggulan komparatifnya. Misalnya impor daging dari Australia karena mereka lebih unggul dalam produksi daging," katanya.
Hal ini, masih menurut dia, bukan menunjukkan ketergantungan kita kepada negara luar, melainkan menunjukkan kemampuan kita memanfaatkan pasar internasional untuk kebutuhan pangan dalam negeri.
Namun, Felippa menyayangkan bahwa impor masih sering terhambat oleh regulasi proteksionis dan proses rumit yang dibumbui politik dan birokrasi.
"Hasil penelitian CIPS menunjukkan jika proses impor beras dipermudah, Bulog sebagai satu-satunya importir beras bisa berhemat sebesar lebih dari Rp303 miliar selama 2010-2017 dan masyarakat pun bisa lebih menikmati harga beras yang lebih murah," katanya.
Menurut Felippa, dapat dimengerti kalau isu impor ini sangat sensitif, terutama karena menyangkut nasib para petani Indonesia. Tapi kenyataannya, ia berpendapat bahwa kebijakan proteksionis perdagangan pangan Indonesia malah gagal memberi proteksi, justru merugikan petani di Tanah Air karena petani Indonesia merupakan net consumer yang berarti mereka lebih banyak membeli daripada memproduksi pangan.
Artinya, lanjutnya, kerugian petani dari mahalnya harga pangan lebih besar dari keuntungan yang mereka dapatkan dari perlindungan sektor pertanian Indonesia.
"Jika memang mau melindungi petani, kebijakan proteksionis bukanlah jawabannya. Pemerintah seharusnya mengeluarkan kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan inovasi dan meningkatkan produktivitas pertanian yang bisa mendorong petani Indonesia semakin kuat dan kompetitif," ucapnya.
Baca juga: Peneliti ingatkan ketahanan pangan bukan hanya soal ketersediaan
Baca juga: Pembenahan kinerja petani dinilai dapat tingkatkan ketahanan pangan
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019