Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi dari Indef Fadhil Hasan berpendapat pemerintah harus berani menegakkan hukum sebagai kunci penangangan masalah merembesnya gula rafinasi di pasar eceran.
"Masalah gula nasional saat ini bukan sepenuhnya masalah ekonomi tetapi lebih pada masalah buruknya penegakan hukum," kata Fadhil kepada ANTARA, di Jakarta, Selasa.
Menurut Fadhil, selama ini pemerintah tidak memiliki kebijakan pergulaan yang tegas tercermin dari peraturan yang diterbitkan namun terdapat celah untuk dilanggar.
Gula rafinasi belakangan mengemuka menyusul protes Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) terhadap pemerintah karena gula impor yang seharusnya untuk keperluan industri beredar di pasar eceran.
APTRI menilai merembesnya gula rafinasi mengakibatkan petani gula dan perusahaan perkebunan tebu mengalami kerugian.
APTRI menggugat Surat Keputusan Mendag Nomor 527 tahun 2004 tentang tata niaga gula yang menetapkan gula kristal putih untuk konsumen dan gula rafinasi untuk industri makanan dan minuman.
Menurut Fadhil, kalau sesuai ketentuan gula rafinasi tidak dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga mengapa komoditas tersebut masuk hingga ke pasar tradisional maupun pasar modern.
"Pemerintah tahu pihak atau perusahaan yang menjadi importir. Penegakan hukum harus diarahkan ke sana (importir), cukup," katanya.
Berdasar data APTRI saat ini terdapat 1,9 juta ton gula rafinasi yang diimpor oleh pabrik gula rafinasi, dan 685.000 ton gula rafinasi diimpor oleh industri makanan dan minuman.
Sementara produksi petani mencapai sekitar 2,9 juta ton ditambah sisa 2007 sebanyak sekitar 1,3 juta ton. Adapun kebutuhan nasional mencapai sekitar 4,1 juta ton.
Pengamat ekonomi dari UGM Revrisond Baswir mengatakan, pemerintah harus mengubah pola pengambilan keputusan mengatasi masalah gula.
"Karena harga gula impor lebih murah Pemerintah selalu berpikir untuk mendatangkannya dari luar negeri, padahal kebijakan impor itu terbukti merugikan petani dan perkebunan gula di dalam negeri. Ini yang harus diubah "mindsetnya," kata Revrisond.
Menurutnya, memaksimalkan produk dalam negeri dengan melakukan revitalisasi merupakan salah satu langkah yang harus dijalankan pemerintah, selain menciptakan peluang tenaga kerja yang lebih besar, juga menghemat cadangan devisa.
Ia menjelaskan, pabrik gula saat ini banyak berusia di atas 50 tahun atau merupakan peninggalan jaman Belanda.
"Saya kira perbankan siap dan mampu membiayai revitalisasi pabrik gula nasional. Dengan catatan, pemerintah menjamin bahwa petani dan pabrik gula tidak akan dibunuh dengan masuknya gula impor lagi," kata Revrisond.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008