Jakarta (ANTARA News) - Bedug merupakan instrumen musik tradisional yang telah digunakan sejak ribuan tahun lalu dengan fungsi sebagai alat komunikasi baik dalam kegiatan ritual keagamaan maupun politik. "Bedug diduga kuat berasal dari India dan China," kata penulis Yudhistira Ardi Nugraha Moelyana Massardi (Yudhis) di Jakarta, Selasa. Konon, kata penulis novel "Arjuna Mencari Cinta" (1977) itu, ketika Laksamana Cheng Hoo datang ke Semarang, mereka disambut baik oleh Raja Jawa pada masa itu. "Ketika Cheng Hoo hendak pergi dan ingin memberikan hadiah, Raja di Semarang tidak meminta apa-apa kecuali mengatakan `Saya ingin mendengarkan suara bedug di mesjid-mesjid`," katanya. Sejak itu, bedug pun menjadi bagian dari mesjid, seperti di China, Korea dan Jepang, yang menempatkan bedug di kuil-kuil Buddha sebagai alat komunikasi ritual (penanda kegiatan ritual). "Di Indonesia, alat itu dibunyikan untuk pemberitahuan waktu sembahyang (salat), tapi belakangan di era Orde baru (Orba), bedug menjadi bagian dari politik keagamaan dan pemerintahan," katanya. Saat Orba berkuasa, katanya, pernah ada gerakan pembersihan mesjid dari unsur-unsur non Islam, sehingga bedug yang dianggap bukan berasal dari budaya Islam pun dikeluarkan dari surau, langgar, atau mesjid, dan diganti dengan pengeras suara. "Gerakan itu dilakukan oleh kaum Islam modernis, namun orang NU yang puritan melakukan perlawanan, sehingga kita lihat masih ada mesjid yang tetap mempertahankan bedug sebagai bagian di dalamnya," katanya. Ia menilai pembersihan bedug dari mesjid adalah kegiatan politik pemerintah pada masa itu untuk mendekati umat Islam, khususnya kaum modernis dalam Islam (Muhammadiyah). "Penggunaan pengeras suara dimaksudkan supaya isi khotbah para imam bisa terdengar. Maksudnya, terdengar oleh aparat intelijen," kata Yudhis, tersenyum. Dalam kaitan itu, ia berjanji untuk mengambil peran dalam Parade Bedug 2008 yang digelar Sampoerna Hijau pada 10-21 September dengan mengunjungi 30 kota di Jawa dan Sumatera.(*)
Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008