Tentunya kita menghargai kewenangan independensi daripada hakim, sejauh proses memutuskannya itu sesuai dengan independensinya, tanpa ada campur tangan. Itu harus dihargai

Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus menilai pengabulan peninjauan kembali (PK) terhadap kasus korupsi di pengadilan merupakan kewenangan dan independensi majelis hakim, sehingga harus dihargai sebagai upaya peradilan.

"Tentunya kita menghargai kewenangan independensi daripada hakim, sejauh proses memutuskannya itu sesuai dengan independensinya, tanpa ada campur tangan. Itu harus dihargai," kata Jaja usai menemui Wakil Presiden Ma'ruf Amin di Kantor Wapres Jakarta, Rabu.

Baca juga: Wapres tanggapi positif keinginan KY masuk Amendemen UUD

Terkait kekhawatiran sejumlah pihak dalam pengabulan PK kasus korupsi tersebut, Jaja mengatakan ada ruang bagi masyarakat untuk melaporkan dugaan pelanggaran kode etik dari hakim yang terlibat. KY juga meminta kepada lembaga pengadilan untuk transparan dan melakukan sosialisasi terhadap setiap putusan yang diambil majelis hakim.

"Apakah keputusan itu bersifat kontroversial atau tidak kontroversial, sejauh itu merupakan pelaksanaan independensi hakim, itu harus kita hargai. Di sisi lain, kalau ditemukan indikasi di balik itu, silakan melapor ke KY," ujarnya menambahkan.

Baca juga: KY eksaminasi putusan Pengadilan Tipikor bebaskan Sofyan Basir

Pengabulan terhadap PK kasus korupsi di pengadilan memunculkan indikasi adanya upaya untuk meringankan hukuman terhadap terdakwa korupsi.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat dalam kurun waktu 2007-2018, sedikitnya 101 terpidana korupsi divonis bebas oleh Mahkamah Agung (MA) melalui upaya PK. Sementara di 2019, setidaknya ada 21 terpidana korupsi menempuh upaya PK ke MA untuk mendapatkan keringanan hukuman.

"Kerja keras KPK menjadi sia-sia jika saat persidangan, pelaku korupsi justru mendapat pengurangan hukuman oleh majelis hakim," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana.

ICW pun mendesak MA untuk menolak dan tidak mengabulkan permohonan PK oleh para terpidana kasus korupsi karena itu hanya dijadikan "jalan pintas" untuk terbebas dari hukuman.

Baca juga: Komisi Yudisial desak DPR revisi UU KY

Pewarta: Fransiska Ninditya
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019