Jakarta (ANTARA) - Selama ini jenis pertambangan yang awam dikenal publik serta memiliki nilai tinggi masih disematkan pada emas, tembaga bahkan batu bara sebagai bahan bakar energi.
Namun, Indonesia memiliki nikel, di mana belum banyak publik mengetahui apa saja manfaat serta produk turunan dari nikel. Salah satu turunan yang kerap dikenal adalah stainless steel, yang kerap menjadi bahan aksesoris dapur serta lapisan penguat lainnya.
Seiring perkembangan zaman, nilai pengembangan produk mulai berubah, munculnya revolusi pada sektor transportasi membuat nikel menjadi produk tambang yang berpotensi akan diburu pasar global beberapa tahun ke depan.
Mobil listrik, semua hal tersebut berawal dari kendaraan berbahan bakar listrik. Dengan memiliki baterai sebagai dapur pacu utama, sumber energi tersebut berbahan dasar dari nikel.
Indonesia memiliki peran yang signifikan dalam pasar nikel dunia, sebab 27 persen pasokan nikel dunia dimiliki oleh Nusantara. Produksi ini termasuk
bentuk produk hulu bijih Nikel di mana terdapat sebanyak 50 juta ton/tahun, maupun produk hilir (FeNi, NPI,Matte) kurang lebih 907 ribu ton/tahun.
Industri nikel di Indonesia terus meningkat nilai ekonomisnya sejak dilakukan hilirisasi. Penjualan bijih Nikel Indonesia sempat mengalami penurunan drastis sejak dilarangnya ekspor bijih nikel, namun secara total nilai ekonomis industri nikel Indonesia naik tinggi karena pertama nilai ekonomis produk hilir nikel yang jauh lebih tinggi lima kali lipat daripada produk hulu nikel.
Kedua, harga nikel juga naik cukup tinggi, sebagai gambaran untuk harga saat ini harga produk Hulu/bijih Nikel di kisaran 40-45 dolar As/ton bijih dan produk Hilir/FeNi di angka 17 ribu dolar AS/ton nikel.
Mobil listrik
Dengan berkembangnya Industri Mobil Listrik (Electric Vehicle), yang dapat memanfaatkan bijih nikel kadar rendah kurang 1,7 persen, serta memiliki kandungan Cobalt, maka sumber daya alam Nikel Indonesia akan menjadi yang terbesar di dunia.
Pada tahun 2030 diperkirakan hampir 40 persen nikel akan dialihkan untuk mendukung produk baterai listrik. Para analis (JPMorgan) memperkirakan jumlah mobil listrik/Electric Vehicles (EV) dunia akan mencapai 4,3 juta unit mulai tahun 2020 dan akan terus tumbuh lebih cepat dari mobil biasa.
Diproyeksikan pada tahun 2025 peningkatannya akan mencapai 7,7 persen dari mobil biasa. Hal itu berarti, akan meningkat pula produksi baterai serta cuku cadang lain yang berbahan komponen dari nikel.
Permintaan nikel untuk baterai diprediksikan akan meningkat 20 sampai 40 kali lipat pada 2030 mendatang. Nikel merupakan bahan baku utama baterai mobil listrik, dengan perkiraan kebutuhan Nikel 27,2kg Ni/mobil (berdasarkan standar Toyota).
Untuk menopang permintaan ini, pasar global atau dunia akan datang ke Indonesia yang memiliki cadangan nikel dengan kualitas tinggi serta melimpah, layakmya ketika masa VOC datang ke Indonesia untuk ekspolitasi rempah-rempah.
Mengingat peran Nikel yang sangat strategis bagi Industri EV (mobil listrik) dunia, banyak perusahaan besar dunia yang ingin mengamankan ketersediaan bahan bakunya, dengan menguasai cadangan sumber daya alam Nikel Indonesia.
Hilirisasi
Oleh karena itu, perlu langkah Indonesia untuk merespons langkah strategis dengan meningkatkan nilai nikel melalui hilirisasi. Hilirisasi nikel secara umum terbagi menjadi dua jalur, yaitu pembuatan baterai electric vehicle (EV) dan
stainless steel.
Dalam jalur hilirisasi baterai, bijih nikel limonit diproses menjadi nikel sulfat dan bijih saprolit diproses menjadi ferronickel (FeNi) kemudian dikonversi menjadi nikel matte untuk kemudian diolah menghasilkan nikel sulfat.
Selanjutnya, Nikel sulfat diolah menjadi precursor baterai dan kemudian diolah lagi menjadi katoda. Katoda baterai dari nikel merupakan katoda yang digunakan dalam baterai lithium-ion yang merupakan material utama EV.
Sedangkan, dalam jalur hilirisasi stainless steel, FeNi yang dihasilkan diolah menjadi stainless steel, lebih memiliki rantai proses yang singkat. Holding pertambangan Indonesia mencatatkan bahwa diperkirakan bijih Nikel dunia akan dihilirisasi sebagian besar ke arah baterai EV, tidak lagi mayoritas ke arah stainless steel pada 2030 mendatang.
Saat ini (2019) hampir semua bijih nikel dunia dihilirisasi ke arah stainless steel (71 persen) dan hanya sedikit yang dihilirisasi ke arah baterai EV (3 persen). Namun, diperkirakan di tahun 2030 nanti, 46 persen bijih Nikel dihilirisasi ke arah Stainless Steel dan 37 persen dihilirisasi ke arah baterai EV.
Apabila respon Indonesia cepat dan efisien dalam industri hilirisasi nikel, maka pada tahun 2030 Indonesia dapat menguasai pasar global dari komponen mobil listrik.
Hal tersebut akan semakin kuat jika Indonesia juga mampu memproduksi baterai mobil listrik sendiri. Dengan begitu, bahan baku yang tersedia mampu dijual kepada produk akhir.
Langkah tersebut sudah dimulai, Perusahaan induk BUMN pertambangan, Mining Industry Indonesia (MIND ID), dan PT Vale Indonesia Tbk (PTVI) bersama dengan para pemegang sahamnya, Vale Canada Limited (VCL) dan Sumitomo Metal Mining (SMM), telah menandatangani Perjanjian Pendahuluan untuk mengambil alih 20 persen saham divestasi PTVI.
Melalui kepemilikan 20 persen saham di PT Vale Indonesia Tbk., dan 65 persen saham di PT Aneka Tambang Tbk., MIND ID memiliki akses terhadap salah satu cadangan dan sumberdaya nikel terbesar dan terbaik dunia.
Ke depannya akses ini secara strategis akan mengamankan pasokan bahan baku untuk industri hilir berbasis nikel di Indonesia, baik hilirisasi industri nikel menjadi stainless steel, maupun hilirisasi industri nikel menjadi baterai kendaraan listrik. Akses ini juga akan mempercepat program hilirisasi industri nikel domestik, yang akan menghasilkan produk hilir dengan nilai ekonomis hingga 4-5 kali lipat lebih tinggi dari produk hulu.
Baca juga: ESDM: Indonesia butuh fasilitas pemurnian nikel bagi kendaraan listrik
Baca juga: BKPM: Pengusaha nikel sepakat tidak ekspor bijih mentah nikel
Baca juga: Menko Luhut dukung langkah Kepala BKPM hentikan ekspor nikel
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019