"Gerakan tanah pernah terjadi sebelumnya, tetapi longsor yang terjadi Selasa (29/10) merupakan yang terparah. Kondisi tanah galian hasil tambang bersifat keropos dan lepas-lepas," kata Kasbani melalui surat yang ditujukan kepada Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Bupati Tana Tidung yang diterima ANTARA di Jakarta, Selasa.
Baca juga: BNPB: Pergerakan tanah tambang di Kalimantan Utara bukan likuefaksi
Kasbani menjelaskan lokasi bencana merupakan tempat pembuangan lumpur. Lumpur dan air pada tempat pembuangan membuat tanah galian di sekitarnya menjadi jenuh air dan kehilangan daya dukung tanah sehingga terjadi longsor.
Kasbani juga menilai aktivitas penambangan yang dilakukan di lokasi bencana kurang memperhatikan hasil tanah galian bekas tambang. Karena itu, Kasbani menyarankan daerah pembuangan lumpur pada area tambang ditata terutama untuk drainase agar tanah tidak jenuh.
"Meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat untuk lebih mengenal dan memahami gerakan tanah dan gejala-gejala yang mengawalinya sebagai upaya mitigasi bencana gerakan tanah," bunyi salah satu rekomendasi lain PVMBG.
Baca juga: Viral di medsos tanah longsor mirip "likuifaksi" Kaltara
Kasbani mengatakan berdasarkan Peta Prakiraan Gerakan Tanah Provinsi Kalimantan Utara yang dibuat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi, daerah bencana tersebut termasuk dalam potensi gerakan tanah menengah.
"Pada zona ini dapat terjadi gerakan tanah jika curah hujan di atas normal, terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan, atau jika lereng mengalami gangguan," katanya.
Gerakan tanah yang terjadi pada Selasa (29/10) merupakan jenis longsoran aliran yang terjadi pada tanah galian hasil tambang. Akibat kejadian tersebut enam unit alat berat tertimbun dan dilaporkan tidak ada korban jiwa.
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019