Jakarta (ANTARA News) - Indonesia memiliki peluang menjadi negara maju di berbagai bidang pada 10 tahun mendatang setelah melakukan perubahan-perubahan mendasar saat ini setelah China dan India, kata Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Dato Zainal Abidin Mohamad Zain."Saya memproyeksikan Indonesia menjadi negara maju setelah China dan India," kata Zainal Abidin dalam diskusi pertama dengan para duta besar yang diselenggarakan Korps Alumni Himpunan Islam (Kahmi) dan dipandu Nazaruddin Nasution di Jakarta, Jumat.Hadir dalam acara itu sejumlah tokoh Kahmi antara lain Prof. DR. La Ode M. Kamaluddin, Dr.Ir. A. Asri Harahap, Noer Soetrisno, Tubagus Farich N dan Dirut Perum LKBN ANTARA Dr. Ahamd Mukhlis Yusuf.Dalam pengamatannya Dubes Malaysia itu mengatakan gerakan-gerakan ke arah kemajuan Indonesia sudah menampakkan hasil misalkan dalam pendidikan dan pemanfaatan sumber daya alamnya. Menurut Zainal Abidin, sejumlah pengusaha Malaysia telah menanam modal di Indonesia antara lain di sektor pertanian, perkebunan kelapa sawit, penerbangan, jalan raya, telekomunikasi dan perbankan. Malaysia dan Indonesia merupakan produser minyak kelapa sawit terbesar di dunia dan menguasai 85 persen pangsa pasar komoditas itu sehingga kedua negara dapat bekerja sama menstabilkan harga komiditas tersebut di pasaran. Selain digunakan sebagai minyak goreng, minyak sawit juga dapat digunakan sebagai bahan bakar biodiesel. "Jika kecenderungan harga minyak sawit menurun, maka langkah kedua negara menghasilkan biodiesel boleh memastikan penawaran komoditas tersebut di pasaran tidak berlebihan sehingga menyebabkan harganya jatuh," katanya. Untuk tujuan itu kedunya telah sepakat menggunakan enam juta ton minyak sawit untuk menghasilkan biodiesel dan ini tak akan mengganggu cadangan minyak makan dunia karena pada saat ini stok minyak tersebut berlebih. Pengusaha Malaysia juga membeli saham Bank Lippo dan Bank Niaga. "Pengusaha Malaysia tertarik menanam modal di sini kaarena melihat potensinya ke depan," ujarnya seraya menambahkan pada saat Indonesia dilanda krisis multidimensi tahun 1990-an mereka tidak meninggalkan usaha-usaha yang telah dirintisnya di Indonesia. Pada bagian lain ia menyinggung hubungan kedua negara serumpun yang mengalami pasang-surut dan berbagai isu-isu yang mewarnai hubungan keduanya seperti tenaga kerja Indonesia, tapal batas, pembalakan liar dan perairan Ambalat yang dipersengketakan. Para peserta juga menanyakan soal batik, reog ponorogo, kata "Indon" dan "pendatang haram" terhadap orang Indonesia yang masuk negara itu secara ilegal. Secara khusus ia menjelaskan perkembangan politik terkini di negerinya seperti aksi-aksi unjuk rasa kelompok minoritas India dan China, pemilihan raya Maret lalu dan kemenangan Anwar Ibrahim dalam pemilihan sela. Ia menyatakan ada pihak-pihak luar yang tak menghendaki Malaysia-Indonesia menjalin hubungan baik dan mesra. Dubes Zainal Abidin menujuk media turut berperan memprovokasi dengan laporan-laporannya. "Untuk itu kami mengimbau media massa tak menyebarkan laporan-laporan yang memperkeruh suasana dan hendaknya melihat hubuingan jangka panjang kedua negara bertetangga," ujarnya. Dalam ceramahnya Dubes Zainal Abidin berpendapat rakyat Malaysia dan Indoensia saat ini umumnya kurang memahami latar belakang sejarah keduanya sebelum kehadiran penjajah Belanda dan Inggris dan pemahaman yang terbatas mengenai sejarah terbentuknya dua negara ini. "Banyak di kalangan kedua negara terutama generasi muda tidak mengetahui atau lupa akan sejarah itu termasuk ciri-ciri kebiasaan hidup, bahasa dan budaya akibat dari migrasi penduduk sebelum abad kedua puluh," ujarnya. Dubes Zainal Abidin sepakat perlunya kontak antarorang dari kedua negara untuk meningkatkan saling pengertian dan pemahaman. Ia merujuk pada pertemuan tokoh-tokoh senior dari kedua negara (EPG) yang sedang mengadakan pertemuan dua-hari di Jakarta untuk meningkatkan hubungan tersebut. "Kita akan tunggu gagasan apa saja yang akan mereka sampaikan nanti untuk meningkatkan hubungan people to people contact," demikian Dubes Malaysia.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008