Pamekasan (ANTARA News) - Ketua Yayasan Pakem Madduh, Pamekasan, Madura, Drs H. Kutwa M.Pd, berharap karapan (pacuan) sapi di pulau itu dikembalikan ke tradisi asal yang tidak dipenuhi dengan kekerasan yang menyakitkan. "Saya juga tidak terima kalau karapan sapi itu ada unsur kekerasan pada hewan. Padahal waktu saya masih kecil, tidak ada karapan memakai paku," katanya kepada ANTARA News di Pamekasan, Kamis. Pembantu Rektor I Universitas Madura (Unira) di Pamekasan itu mengemukakan, munculnya aksi yang menyakitkan sapi itu sekitar tahun 1980-an. Diperkirakan, paku yang digarukkan ke bagian pantat sapi hingga mengeluarkan darah itu, karena semakin kerasnya kompetisi. "C-cara yang digunakan juga melebihi batas kompetisi seperti itu. Alangkah baiknya jika tradisi karapan sapi dikembalikan ke asalnya yang hanya mengadu kekuatan otot sapi," katanya. Menurut dia, tradisi karapan sapi yang bermula dari Pulau Sapudi, kabupaten Sumenep itu hingga kini masih menggunakan cara lama, yakni mengandalkan kekuatan otot sapi saat diadu pacu. Bahkan, para pemilik sapi kerapan di Sapudi melatih sapinya di daerah berpasir. "Dinas Peternakan atau instansi terkait yang membidangi penyelenggaraan karapan sapi ini harus memikirkan masalah tersebut, misalnya mengeluarkan aturan tidak boleh ada kekerasan," katanya. Sementara itu, dosen Jurusan Peternakan Unira, Ir Malika Umar MSi, menyatakan tidak setuju dengan adanya kekerasan pada sapi karapan. Karena itu, harus diatur agar masalah itu tidak terus menerus menjadi tradisi baru. "Praktik seperti itu kan menyalahi kesejahteraan satwa. Karena itu dinas terkait harus memperhatikan juga. Misalnya, Dinas Peternakan mengadakan dialog dan penyuluhan kepada para pemilik sapi kerapan," katanya. Ia mengemukakan, memang tidak mudah mengajak masyarakat di Madura untuk melakukan perubahan terhadap sesuatu yang sudah lama berjalan. Namun demikian, jika hal itu dilakukan secara intensif dan benar, maka lambat laun, pemilik sapi ksrapan akan memahami. "Contohnya, dulu zaman saya kuliah, pemilik sapi karapan memberikan telur sampai 500 butir untuk sekali jamu pada sapi. Tapi setelah diberi penyuluhan dan penyadaran bahwa telur sebanyak itu tidak ada artinya, mereka ikut berubah," kata alumni Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jawa Tengah, itu. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008