Jakarta (ANTARA) - Pada masa awal pembentukan Kabinet Indonesia Maju, Presiden Joko Widodo memberikan tugas khusus kepada Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar untuk menjaga dan mengamankan keberlanjutan industri sawit Indonesia.
Ekonom yang pernah menjabat sebagai wakil menteri perdagangan, wakil menteri keuangan, kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat itu menyebut industri sawit sebagai taruhan besar. Kelapa sawit telah menjadi komoditas penting bagi perekonomian Indonesia dengan nilai ekspor sekitar 25 miliar dolar AS per tahun.
Namun demikian, di balik besarnya nilai sawit bagi ekonomi, pemerintah dan para pemilik usaha tidak bisa menafikan persoalan-persoalan yang meliputi industri sawit, termasuk dampak industri sawit terhadap kondisi sosial dan lingkungan.
Pengusahaan industri sawit selama ini dianggap sebagai salah satu pemicu deforestasi, pembukaan lahan gambut, kebakaran hutan dan lahan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan konflik tenurial yang tidak jarang berujung pada pelanggaran hak asasi manusia.
Temuan Komisi Pemberantasan Korupsi bahwa 3,4 juta hektare (ha) lebih perkebunan sawit berada di kawasan hutan bisa menjadi gambaran mengenai bagaimana upaya ekstensifikasi dilakukan secara membabi buta, tidak pandang bulu.
Sikap lembaga pendanaan Eropa
Penyelesaian persoalan yang meliputi industri kelapa sawit membutuhkan keterlibatan para pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya, termasuk lembaga pendanaan.
Tuntutan global agar sektor pendanaan ikut bertanggung jawab memastikan industri sawit yang menggunakan dananya menjalankan praktik berkelanjutan semakin kuat.
Poin kelima Kesepakatan Iklim Paris juga menekankan pentingnya pendanaan bagi negara-negara berkembang untuk membangun ekonomi hijau.
Perbankan menyediakan pendanaan cukup besar bagi industri sawit global, termasuk yang beroperasi di Indonesia.
ABM-AMRO dan Rabobank dari Belanda termasuk di antara banyak perbankan dan lembaga pendanaan di Eropa yang melakukan investasi secara langsung maupun tidak langsung untuk industri sawit.
Pejabat Pers Senior ABN-AMRO Ariën Bikker mengatakan bahwa ada ratusan industri sawit yang beroperasi secara global, namun banknya hanya bekerja sama dengan enam atau tujuh perusahaan yang dinilai memenuhi standar kriteria keberlanjutan bank.
ABN-AMRO tidak percaya boikot atau penarikan kembali investasi, dan lebih memilih menggunakan pengaruh dari perspektif finansial untuk mendukung industri sawit berkelanjutan menurut Bikker, menanggapi desakan-desakan untuk menarik investasi dari perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengan praktik perkebunan sawit tidak berkelanjutan.
"Ini tidak mudah, kami menghadapi banyak dilema, meski enam atau tujuh perusahaan ini melakukan hal benar dalam rantai nilainya, tetapi ada isu yang mungkin tidak berasal dari perusahaan mereka sendiri, mungkin dari rantai nilai ketiga atau keempat," ujar dia.
Kepala Perbankan Berkelanjutan ABN-AMRO Richard Kooloos mengatakan bahwa bank sudah punya kebijakan terkait pendanaan untuk industri kelapa sawit, salah satunya hanya berinvestasi untuk industri sawit yang memiliki sertifikat dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
Menurut dia, banknya juga melakukan penilaian bisnis rutin dan menanyakan langsung pada klien isu-isu yang menjadi perhatian Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media massa, dan masyarakat selain mencari tahu dari pihak ketiga secara independen guna memudahkan pengambilan keputusan untuk remediasi kasus.
Kooloos mengakui praktiknya tidak mudah. Kadang secara teori, di atas kertas, semua terlihat baik-baik saja, tapi kemudian diketahui bahwa dalam praktiknya ada masalah, apakah di level perusahaan, pemasok, atau sub-pemasok, atau rantai nilai yang tidak diketahui.
Meski demikian, ia mengatakan, ABN-AMRO memiliki batas kesabaran dan terkadang juga mengeluarkan klien kalau dinilai tidak bisa memenuhi standar.
"Tapi ketika kami gagal meyakinkan klien atau mereka terlalu lambat mengambil langkah perbaikan maka kami tidak bisa lagi menjadi bagian dari rantai nilai sehingga menarik diri," katanya.
Keharusan klien memiliki sertifikat RSPO sebagai syarat untuk memperoleh pendanaan untuk industri dan perkebunan kelapa sawit juga diterapkan oleh Rabobank menurut Dialogue and Policy Rabobank Johan Vernburg.
Rabobank, menurut dia, juga berusaha selektif dalam berbisnis kelapa sawit sehingga hanya bekerja sama secara langsung dengan 20 perusahaan.
Jika ada persoalan dengan salah satu klien, bank tersebut akan langsung memasukkannya ke radar pemantauan, dan memberikan tekanan secara langsung.
Namun, sedikit berbeda dengan ABN-AMRO yang masih mau mencari tahu persoalan melalui jalur independen, Rabobank tidak memiliki hubungan langsung dengan perusahaan yang diduga melakukan pelanggaran hak asasi manusia maupun menghadapi persoalan lingkungan.
Tidak semua bank di Eropa mau mendanai industri atau perkebunan kelapa sawit.
Chief Economist Triodos Bank Kees Vendrik mengatakan bahwa banknya sudah 40 tahun beroperasi dengan tujuan hanya satu, menciptakan investasi, pendanaan atau pinjaman yang memberi dampak positif.
Banknya, menurut dia, termasuk bank pertama di era 1980 yang membiayai pengembangan panel surya, turbin angin, dan pertanian organik.
Vendrik mengatakan bahwa banknya tidak berinvestasi di industri sawit manapun mengingat itu di luar kebijakan bank yang tidak ingin melakukan pendanaan yang menimbulkan dampak buruk.
Meski percaya uang tidak pernah netral karena kemanapun dibawa secara sadar maupun tidak sadar akan menimbulkan dampak, Vendrik sangat meragukan pembiayaan akan berkelanjutan di industri sawit.
Menurut Vendrik, akan lebih baik lahan dikembalikan ke masyarakat lalu pangan lokal dikembangkan dengan cara berkelanjutan. Dia sulit membayangkan agro-bisnis skala besar untuk memenuhi pasar global dapat berjalan secara berkelanjutan.
Peran lembaha pendanaan di Uni Eropa sangat besar dan ada tanda-tanda positif mereka mengambil langkah meninggalkan pendanaan untuk energi fosil.
Tekanannya sangat kuat mempertanyakan apa sumbangan sektor pendanaan Eropa terhadap keanekaragaman hayati, kata Vendrik.
Ia menambahkan, banknya setiap hari berusaha memastikan apakah pendanaan yang dilakukan sesuai dengan agenda pengendalian perubahan iklim, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan seterusnya.
Pandangan parlemen Eropa
Anggota parlemen Uni Eropa dari Belanda Joost Sneller mengatakan bahwa parlemen Eropa saat ini mendorong pemerintah Belanda untuk mendukung inisiatif Parlemen Uni Eropa membuat kebijakan pendanaan hijau.
Keterlacakan aliran dana nasabah menjadi isu penting yang perlu dijamin oleh pemerintah dan pihak bank.
Persoalan keterlacakan pendanaan di sektor agribisnis ini menjadi perhatian, karena terkadang bank atau pendanaan di Eropa berinvestasi di satu industri namun ternyata menggunakan subkontraktor sehingga yang terjadi antara bank dan konsumen di Belanda jadi berjarak begitu jauh.
Kondisi yang demikian membuat transparansi dan tanggung jawab di seluruh rantai nilai industri dan perkebunan kelapa sawit menjadi penting menurut Sneller.
Sementara itu, anggota parlemen Eropa dari Belanda lainnya Lammert van Raan mempersoalkan belum adanya regulasi di perbankan maupun perusahaan pendanaan yang berpihak untuk melindungi tidak saja manusia tetapi juga makhluk hidup lainnya dari bisnis yang tidak berkelanjutan, dari krisis iklim yang terjadi.
"Apa yang sudah mereka lakukan? Tidak ada instrumen legal bagi mereka untuk membela hak kita," katanya.
Saat ditanya apakah mereka bisa menjadi bagian solusi untuk mendorong industri dan perkebunan sawit berkelanjutan, ia justru mengatakan sekarang ini tidak. Lihat rekam jejak mereka, lihat faktanya, ini justru menjadi "senjata" dari kerusakan massal, katanya.
"Kita butuh meregulasi mereka," ujar dia.
Anggota parlemen Eropa dari Partai Hijau Bas Eickhout mengatakan bahwa pembahasan peran investasi bank Eropa sudah dilakukan di parlemen Eropa.
Ada ide untuk membuat bank iklim yang akan menjadi bank publik pertama yang investasinya khusus untuk pendanaan pengendalian perubahan iklim.
Tapi Eickhout mengatakan bahwa parlemen harus yakin dulu kebijakan itu akan konsisten dengan upaya untuk membuat industri dan perkebunan sawit global beroperasi secara berkelanjutan.
Menurut dia, langkah yang harus dilakukan terlebih dulu adalah membuat definisi finansial hijau itu apa, karena seluruh dunia dengan mudah memberikan label finansial hijau.
Eickhout menyebut perlunya meyakinkan seluruh anggota parlemen bahwa saat definisi finansial hijau di Eropa terbentuk maka juga harus ada aturan yang berkaitan dengan standar kriteria berkelanjutan.
Selain itu, yang saat ini perlu dilakukan Komisi Uni Eropa yang baru, menurut dia, melakukan dengar pendapat dan diskusi soal investasi berkelanjutan hingga transparansi aliran dana ke seluruh rantai nilai industri dan perkebunan sawit.
"Karena kami tidak bisa mengontrol kerja bank secara keseluruhan, tetapi kami bisa meminta mereka untuk transparan ke mana saja uang mereka lari, di proyek mana uang mereka pinjamkan. Jika kita bisa dapat transparansi itu di seluruh jaringan, kita akan diskusikan mana yang bisa disubsidi, lalu kita bisa perdebatkan apakah keberlanjutan sudah benar dilakukan," kata Eickhout.
Ia mengatakan bahwa itu merupakan diskusi politik yang berat, karena bank tentu ingin buku mereka tertutup.
Tapi Komisi Uni Eropa yang baru telah berjanji untuk meninjau ulang semua laporan obligasi yang berkaitan dengan usaha kelapa sawit. Itu tentu akan membuat pembahasan mengenai pembiayaan yang hijau menjadi pertarungan konsistensi untuk mendorong industri kelapa sawit global berkelanjutan.
Baca juga:
Diplomasi sawit sulit, diplomat sebut perlu perbaikan dalam negeri
CIFOR nyatakan ISPO jamin sawit Indonesia berkelanjutan
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019