Jakarta (ANTARA News) - Kemampuan badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) untuk mengaudit seluruh kontrak karya pertambangan sangat minim, bahkan dari sekitar 114 kontrak karya, baru diaudit enam kontrak.
Staf Ahli BPK bidang Migas Aep Saefuddin dalam diskusi "Audit BPK & Kinerja Pansus Angket BBM" di Gedung DPR/MPR Jakarta, Kamis. Diskusi juga menghadirkan pengamat keuangan & perbankan Deni Daruri dan Anggota Angket BBM dari Fraksi PKS Rama Pratama.
Aep mengemukakan, sebenarnya dari sekitar 114 kontrak karta pertambangan, hanya sekitar 50 perusahaan yang benar-benar aktif menjalankan kegiatan.
Menurut Aep, dari enam kontrak karya yang auditnya bisa diselesaikan BPK, banyak ditemukan kejanggalan. Enam kontrak karya itu ditangani perusahaan-perusahaan besar.
Dia mengemukakan, kontrak karya selama 30 tahun. Sepuluh tahun pertama dalam jangka waktu kontrak karya itu digunakan untuk eksplorasi, sedangkan sisanya (20 tahun) untuk produksi.
Masa eksplorasi itu dimanfaatkan untuk mencari ladang-ladang minyak dan gas. Dalam kurun waktu 10 tahun pertama, terjadi jual-menjual ladang migas, padahal belum tentu di ladang itu ditemukan kandungan Migas dalam jumlah besar.
"Bisa jadi selama 10 tahun ditemukan sumur migas, tetapi bisa jadi tidak ditemukan. Jika migas belum ditemukan, ada beberapa kasus yang mengindikasikan penyimpangan karena terjadi jual-menjual sumur," katanya.
Temuan BPK menyebutkan, jual-menjual sumur itu untuk menutup investasi yang telah dikeluarkan pada tahap 10 tahun pertama. Selain membebankan kepada pembeli baru, ada perusahaan yang mengklaim biaya operasi pada 10 tahun pertama kepada negara melalui "cos recovery".
"Padahal dalam semua kontrak karya pertambangan, semua biaya eksplorasi dibebankan kepada kontraktor, bukan kepada negara" katanya.
Temuan BPK itu, kata Aep, menjadi fakta dalam audit migas. "Semua hasil audit diserahkan kepada DPR," katanya.
Namun BPK tidak menyanggupi keinginan DPR apabila data atau informasi yang diminta tidak didasarkan pada data atau BPK tidak memilikinya.
Karena itu, dia mengemukakan, BPK terlalu dibebani oleh Panitia Angket Kenaikan Harga BBM DPR. DPR terlalu mengandalkan BPK, padahal kemampuan BPK mengaudit semua kontrak karya pertambangan sangat terbatas.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008