Jakarta (ANTARA News) - Orang berjilbab yang berkeliaran di jalanan Beijing dan Tianjing, dua kota terbesar di China, boleh jadi merupakan keanehan buat warga kota itu. Itu mungkin alasannya, ketika penulis, yang tetap berjilbab ketika berada di kota itu, mendapat pengalaman unik, yaitu selalu mendapat pandangan "aneh" dari penduduk China. Selama tujuh hari berada di dua kota tersebut atas undangan Pemerintah China, memang tidak pernah ada wanita lain yang berjilbab, baik penduduk asli China maupun orang asing, kecuali seorang isteri diplomat Indonesia yang berkunjung ke hotel tempat wartawan menginap. Namun, pada suatu hari di pusat pertokoan Jiefang di kota Tianjin, tiba-tiba terjadi "kejutan" yang menyenangkan. Udara saat itu cukup panas, dan karena itu irisan melon kantalop (cantaloupe melon) yang berwarna oranye terang dan tampak sangat segar yang dijajakan di pinggir jalan menerbitkan selera. Tanpa ragu, penulis mengulurkan uang lima yuan sambil menunjuk satu irisan kantalop kepada wanita penjualnya. Satu iris kantalop diulurkan, tapi si penjual menolak untuk menerima uangnya. Penolakan itu membuat penulis langsung melihat wajah wanita penjual kantalop. Dia seorang perempuan yang tidak bisa dibantah kecantikannya, karena ia berhidung mancung, berkulit putih bersih, dan mata berwarna kebiruan. "Muslim, Muslim?", katanya sambil tersenyum dan menolak uang lima yuan tersebut. Rupanya wanita yang menutup rambutnya dengan semacam saputangan besar itu adalah seorang wanita Muslim China dari suku Uighur atau Uyghur yang berasal dari daerah otonomi Xinjiang, yang berbatasan dengan negara-negara Asia Tengah. Xinjiang memang sangat terkenal akan buah melon kantalop yang sangat manis dan segar yang dinamakan sebagai buah "hami" oleh penduduk setempat. Pertemuan itu membangkit perasaan haru, dan ucapan terima kasih pun mengalir untuk menghormati sikap Muslimah Uighur yang masih menjunjung tinggi arti persaudaraan sesama umat Islam tersebut. Kebaikan dan senyuman wanita Uighur tersebut mungkin tidak ada atau mungkin ada kaitannya dengan Olimpiade ke-29 yang berlangsung di Beijing dan enam kota besar lainnya di China, 8-24 Agustus 2008. Namun yang jelas Pemerintah China memang telah meminta rakyatnya untuk memasang wajah ramah dan tersenyum kepada orang asing selama Olimpiade. "Betapa bahagianya menerima teman-teman dari jauh," kata Kong Hu Cu, filsuf besar China yang hidup pada 2500 tahun lalu.Antusiasme yang meluap Antusiasme rakyat China untuk mendukung Olimpiade dan menyambut tamu asing terbukti dari banyaknya rakyat China yang melamar menjadi sukarelawan selama Olimpiade 2008. Sekitar 33 juta orang melamar menjadi sukarelawan, namun yang diperlukan hanya 100.000 orang, kata Jiang Xiaoyu, wakil ketua pelaksana Panitia Penyelenggara Olimpiade Beijing (BOGOC) mengatakan kepada 62 wartawan dari 17 negara Asia, termasuk dari Indonesia, di Beijing minggu lalu. Menurut polling yang dilakukan oleh lembaga independen atas permintaan Komite Olimpiade Internasional (IOC), sekitar 96 persen rakyat China mendukung negaranya sebagai tuan rumah Olimpiade, kata Jiang. Hal ini terbukti ketika rombongan wartawan undangan Pemerintah China diajak berkunjung ke Stadion "Sarang Burung" pada hari Jumat (22/8) untuk melihat pertandingan atletik seperti lempar lembing, lompat jauh, dan lompat tinggi. Lebih dari 90 persen kursi di stadion yang mampu menampung 91.000 orang itu terisi, padahal Beijing waktu itu diguyur hujan dan tidak ada atlet China yang dijagokan bertanding pada hari itu. Sekitar 3.000 kegiatan budaya digelar oleh masyarakat Beijing untuk menghibur tamu Olimpiade, termasuk yang dilakukan oleh para warga lanjut usia di pemukiman kuno "hutong" di wilayah Nanchizi yang terletak di tengah kota Beijing. Mereka menari, menyanyi, dan melakukan senam Tai-chi yang artistik dengan menggunakan kipas warna merah. Memang banyak warga China yang tidak memasang senyumannya, tapi beberapa di antaranya benar-benar berusaha untuk tampil ramah, dan tanpa segan-segan mendatangi orang asing hanya untuk menyapa "hallo, hallo!" dengan senyuman lebar. Ketika menikmati suasana di jalan budaya kuno di Tainjin, seorang kakek bahkan meminta penulis untuk berfoto bersama dengan cucu perempuannya yang berusia sekitar empat tahun. Khusus bagi warga Indonesia, yang rupanya terkenal suka belanja, para pedagang di toko-toko China pasti menyambut hangat dengan teriakan "murah, murah!". (*)
Oleh Oleh Fardah
Copyright © ANTARA 2008