Jakarta (ANTARA News) - Momen kenaikan harga elpiji ukuran 12 kg dan 50 kg dinilai salah, karena berbarengan dengan akan datangnya Ramadhan serta hari raya, sehingga inflasi pada Agustus berpotensi melebihi inflasi ketimbang bulan sebelumnya dan mengancam target inflasi keseluruhan tahun, 11-12 persen. "Kalau kenaikan secara gradualnya memang pengaruhnya tidak besar, tetapi itu kan teorinya, karena `multiplier effect`-nya yang tidak dapat dipastikan," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Rusman Heriawan, di Jakarta, Rabu. Apalagi, tambahnya, sebelum kenaikan dipastikan harga sudah liar, sehingga harga patokan dari Pertamina menjadi tidak jelas di pasaran, terutama di wilayah luar Jawa. BPS mencatat inflasi bulanan pada Juli sebesar 1,37 persen, sedangkan inflasi tahun kalender (Januari-Juli) tercatat sebesar 8,85 persen dan inflasi year on year 11,9 persen. Dia mengingatkan, bobot elpiji bersama minyak tanah sebagai bahan bakar konsumsi rumah tangga dalam perhitungan baku inflasi adalah sebesar 2,15 persen, belum lagi efek jangka panjangnya yang dipastikan terjadi pada industri makanan jadi. "Kalau bobot makanan jadi bersama minuman dan rokok adalah 10,5 persen," katanya. Ditambahkannya, jika Pertamina ingin kembali menaikkan harga elpiji ukuran 12 kg dan 50 kg, maka hendaknya jangan dilakukan pada dua bulan mendatang, yaitu September dan Oktober, mengingat ekspektasi inflasi yang sangat tinggi pada dua bulan tersebut. "Mungkin bisa ditunda dulu, jika ingin menaikkan harga elpiji setiap bulannya," tambahnya. Kekhawatiran terbesar BPS, ujar Rusman, adalah kenaikan tersebut akan membuyarkan kebijakan pengalihan minyak tanah ke elpiji yang saat ini tengah digencarkan pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM. "Konsumen yang biasa menggunakan elpiji 12 kg akan mengalihkan sumber bahan bakarnya pada elpiji 3 kg yang disubsidi pemerintah. Nantinya ini akan menimbulkan kelangkaan baru yaitu tabung elpiji 3 kg," katanya. Jika itu yang terjadi, tambah Rusman, Pertamina dipastikan tidak akan memperoleh tambahan penerimaan dari kenaikan harga elpiji tersebut. "Masyarakat miskin juga akan semakin sulit, terutama yang di Jawa, karena pasokan minyak tanah sudah sangat dikurangi," jelasnya. Pada Senin kemarin (25/8), PT Pertamina menaikkan harga elpiji kemasan 12 kilogram dan 50 kilogram. Elpiji 12 kilogram naik dari Rp 63.000 per tabung menjadi Rp 69.000 per tabung, sedangkan elpiji 50 kilogram dari Rp 343.900 per tabung menjadi Rp 362.750 per tabung. Padahal sebelumnya, harga elpiji kemasan 12 kilogram telah naik dari Rp 4.250 per kilogram menjadi Rp 5.250 per kilogram pada 1 Juli 2008. Sedangkan elpiji 3 kg yang disubsidi pemerintah hanya dijual Rp15.000 per tabung. Hal senada juga diamini oleh pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economy and Finance (Indef) M. Fadhil Hasan yang memperkirakan laju inflasi bulan Agustus berpotensi melonjak lebih tinggi dibanding inflasi bulan sebelumnya, terutama akibat kenaikan harga bahan bakar elpiji menjelang bulan puasa "Inflasi Agustus, karena bertepatan menjelang puasa, ditambah lagi kemarin baru dinaikan harga elpiji. Maka saya kira, semuanya bakal berpengaruh pada laju inflasi bulan Agustus yang bisa lebih tinggi dari sebelumnya," ujar Fadhil. Menurut Fadhil, kenaikan laju inflasi menjelang bulan puasa merupakan kenaikan yang bersifat rutin. Sebab pada bulan tersebut diperkirakan terjadi lonjakan permintaan (demand), melebihi rata-rata bulan lain. "Jadi, dengan melihat rutinitas kenaikannya (inflasi, red), kenaikan harga elpiji tidak dalam momen yang tepat," paparnya. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008