Jakarta, (ANTARA News) - Indonesia tidak mengalami krisis pangan, karena laju peningkatan produksi komoditas pangan sejak 2004 sampai 2008 dinilai cukup baik, meski banyak masyarakat masih berada di bawah garis kemiskinan, kata seorang pejabat Departemen Pertanian. "Kita tidak krisis pangan. Laju peningkatan produksi komoditas pangan empat tahun terakhir, sejak 2004 ke 2008 cukup baik," kata Kepala Badan Ketahanan Pangan Deptan Dr Achmad Suryana Achmad kepada wartawan di sela Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi IX di Jakarta, Salasa. Ia mencontohkan, laju peningkatan produksi beras sebesar rata-rata 2,6 persen per tahun mulai 2004 ke 2008, demikian pula jagung 7,6 persen, kedelai 1,4 persen, singkong 1,7 persen, minyak sawit 18,4 persen, gula 21,9 persen, daging sapi 6,5 persen, daging ayam 17,4 persen, telur 9,2 persen dan ikan 6,7 persen. Sedangkan produksi tahun 2008, ujarnya, diprediksi sangat baik dibanding 2007, di antaranya padi meningkat mencapai 59,9 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), jagung 14,9 juta ton, gula 4,5 juta ton, CPO 19,8 juta ton dan daging ayam 1,5 juta ton. Namun demikian ia mengakui bahwa masih banyak masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan dan rawan pangan, sehingga pemerintah berupaya membangun ekonomi pedesaan berbasis pertanian, misalnya dengan Program Pengembangan Agribisnis Usaha Pedesaan di 11 ribu desa. Senada dengan Achmad, Menteri Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman menyatakan bersyukur Indonesia sudah layak memasuki masa swasembada beras di kwartal ketiga 2008. Namun ia juga menyayangkan, masih tingginya ketergantungan dalam negeri terhadap gandum yang sampai sekarang masih juga belum bisa diatasi. Karena itu ia meminta ilmuwan "mengotak-atik" bibit gandum agar bisa ditanam di negeri tropis seperti Indonesia untuk mengatasi kebutuhan gandum dalam negeri yang sangat tinggi itu. "Mi instan adalah gebrakan nasional di masa lalu, entah dengan monopoli atau oligopoli yang akhirnya membuat ketergantungan dan kesulitan bangsa di masa kini," kata Menristek di depan ratusan pakar gizi, pakar kesehatan hingga pakar bioteknologi. Kusmayanto mengatakan, konsumsi mi instan sekarang ini tidak bisa lagi dicoret dari daftar kebutuhan hidup masyarakat Indonesia dan karena itu jika peneliti tak mampu membuat gandum bisa ditanam dengan produktivitas yang tinggi di dalam negeri, maka impor gandum akan terpaksa terus meningkat dari tahun ke tahun. Ia juga meminta agar masyarakat mencari bahan pangan serupa gandum atau mengolah bahan lokal menjadi pangan serupa mi atau roti, misalnya beton (biji nangka) dijadikan tepung untuk membuat roti dengan rasa dan aroma yang sama. Sementara itu, Guru Besar Pangan dan Gizi dari IPB, Prof Dr Soekirman mengatakan, permasalahan mi instan di Indonesia sama dengan negara-negara Asia lainnya. "Di Asia, mi instan sudah jadi makanan pokok kedua setelah beras dan kebutuhannya terus meningkat, di satu sisi bagusnya ada alternatif lain selain beras, tetapi jeleknya kita ketergantungan," katanya. Lebih memprihatinkan lagi, mi instan tidak mengandung gizi sebanyak beras, sehingga masyarakat yang terlalu tergantung pada mi instan tidak akan memiliki gizi yang cukup, ujarnya. "Pada Januari pemerintah sempat tidak lagi mewajibkan adanya fortifikasi (menambah kandungan gizi -red) pada tepung terigu. Kami protes, sehingga bulan lalu pemerintah kembali mewajibkan adanya fortifikasi tepung terigu, yakni menambahkan dua mineral dan tiga vitamin," kata Soekirman.(*)
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008