"Tidak ada. Ada enggak 'disorder'? Saya tidak bisa bicara kemungkinan. Dalam keadaan normal, tidak ada pembatasan," katanya di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis.
Menurut dia, langkah pembatasan akses internet hanya dilakukan pada saat-saat tertentu, yakni "civil disorder" atau gangguan sipil, potensi kekacauan, atau hal-hal lain yang membahayakan kedaulatan negara, seperti hoaks dan provokasi.
Pembatasan internet, kata dia, bisa juga dilakukan ketika terjadi "civil disobedient", misalnya penyalahgunaan media sosial untuk peredaran narkotika, pornografi, transaksi seksual, dan sebagainya.
Ia mengatakan Kemenkominfo akan memonitor lalu lintas percakapan di dunia maya dan melaporkannya kepada instansi terkait untuk melakukan pencegahan agar tidak terjadi kekacauan di masyarakat.
Kemenkominfo, kata dia, juga memiliki tim yang bekerja selama 7 X 24 jam untuk terus memantau dan mengawal pemanfaatan teknologi komunikasi di Indonesia.
"Kamu tidur, Kominfo tidak tidur. Benar itu. Kominfo tidak tidur, karena apa? Ada aparat yg bertugas khusus 7 X 24 jam. Banyak sekali di depan komputer mengikuti seluruh perkembangan," katanya.
Namun, ia menegaskan ketika terjadi "civil disorder" maka aparat yang akan hadir terlebih dahulu untuk melakukan langkah penanganan, bukan Kemenkominfo.
Selain itu, kata Johnny, kementerian yang dipimpinnya juga memiliki manajemen penanggulangan konten, terutama melalui literasi digital, di samping langkah penindakan berupa pembatasan akses internet.
"Ada edukasi, kerja sama dengan berbagai lembaga pemerintah, masyarakat, adat, dan tokoh-tokoh terkait pemanfaatan fasilitas internet dan media sosial," katanya.
Baca juga: Menkominfo ajak masyarakat beli ponsel resmi
Baca juga: Menkominfo harap aplikasi dalam negeri berkembang
Baca juga: Pengembangan startup tetap jadi fokus Kominfo
Baca juga: Sumpah pemuda, Menkominfo pesan anak muda terus berinovasi
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019