Jakarta (ANTARA) - Bagi pasangan suami istri (pasutri) baru, melakukan hubungan seks di malam pertama serasa surga dunia. Namun, sebagian kaum hawa justru merasakannya sebagai derita.

Di dunia kedokteran, nyeri saat sanggama atau sakit ketika bersetubuh memiliki beberapa istilah, mulai dari dyspareunia, disparenia, difficult mating, hingga painful intercourse.

Definisi ini mencakup ketidaknyamanan berulang atau terus-menerus yang terjadi sebelum, selama, atau setelah melakukan hubungan seksual. Disparenia adalah kelainan kompleks yang dapat diklasifikasikan menjadi disparenia permukaan (superficial) atau disparenia dalam (deep), serta disparenia primer atau disparenia sekunder.

Disparenia superfisial adalah nyeri pada vulva atau pintu masuk vagina, dan disparenia dalam adalah nyeri yang dirasakan di dalam vagina atau panggul bawah, yang sering dikaitkan dengan penetrasi yang dalam.

Disparenia primer terjadi di awal melakukan hubungan badan, sedangkan dispareunia sekunder terjadi setelah beberapa kali bersetubuh dengan nikmat.

Singkatnya, menurut Asosiasi Internasional untuk Studi Nyeri, disparenia adalah pengalaman sensorik-emosional tidak menyenangkan, terkait potensi kerusakan jaringan.

Istilah disparenia seringkali tumpang-tindih dengan vulvodinia. Disparenia adalah terminologi deskriptif yang menggambarkan gejala nyeri panggul atau vagina terkait bersetubuh, misal sensasi nyeri yang selalu terjadi dengan sentuhan pemicu seperti hubungan seksual.

Vulvodinia dapat terjadi dengan atau tanpa provokasi, alias terjadi secara spontan. Disparenia dapat terjadi di pintu masuk vagina, jauh di dalam saluran vagina, atau di panggul. Vulvodinia terlokalisasi pada vulva dan introitus vagina.

Disparenia boleh jadi bersifat akut (sementara, sebentar) atau kronis (lama, menahun), sedangkan istilah vulvodinia digunakan khusus untuk klasifikasi nyeri kronis (berlangsung selama lebih dari tiga bulan).

Kedua terminologi itu dapat digunakan untuk mendeskripsikan sensasi nyeri atau rasa sakit yang muncul bersamaan dengan komorbiditas seperti endometriosis, sistitis interstisial, mialgia pelvis bagian bawah, dan dermatoses vulva.

Baca juga: Sang Penakluk epilepsi itu bernama sel punca dan terapi gen

Baca juga: Memberantas penyakit kaki gajah


Keluhan dan metodologi penelitian

Sepuluh hingga lima belas persen wanita subur yang aktif secara seksual dan sekitar 3-33 persen wanita perimenopause mengeluhkan berbagai derajat dispareunia. Variasi saat pelaporan klinis tergantung dari sejumlah faktor, misalnya tipe populasi yang dipertimbangkan (klinik umum atau klinik spesialis), bias seleksi, kualitas perhatian yang dibayarkan klinisi terhadap keluhan seksual, kualitas ketrampilan mendengarkan yang dimiliki klinisi, serta keterbukaan terhadap pengungkapan dan diskusi keluhan tersebut.

Prevalensi disparenia berkisar 0,4 persen hingga 61 persen. Tingginya rentang ini kemungkinan disebabkan oleh variasi metodologi yang signifikan antara penelitian, termasuk populasi studi, keberanekaragaman definisi disparenia, dan parameter yang digunakan untuk menilainya.

Review World Health Organization tahun 2006 tentang studi dispareunia melaporkan insiden disparenia mencapai 8-22 persen. Angka ini bervariasi di berbagai negara.

Prevalensi disparenia bervariasi menurut cara mendefinisikan dan lokasi geografis. Sebagai contoh, prevalensi disparenia di Amerika Serikat mencapai 10-20 persen, dengan penyebab utama bervariasi berdasarkan kelompok umur.

Review sistematis di Brazil tahun 2016 mengungkapkan prevalensi dispareunia sekitar 1,2 persen hingga 56,1 persen. Angka prevalensi di Puerto Riko berkisar dari 17 persen hingga 21 persen.

Baca juga: Menaklukkan stroke dengan terapi sel punca

Baca juga: Memahami syok jantung


Penyebab

Disparenia merupakan gangguan nyeri spesifik dengan etiologi psikobiologis yang interdependen. Disparenia superfisial dapat dikaitkan dengan vaginitis, dermatosis, dan vulvovaginitis.

Sebaliknya, "disparenia dalam" dapat terjadi akibat kelainan viseral seperti penyakit radang panggul sistitis interstitial, endometriosis, perlengketan, kongesti panggul, dan fibroid. Sindrom nyeri berpotensi tumpang-tindih dan berhubungan dengan disparenia dan vulvodinia, termasuk sindrom iritasi usus, fibromialgia, dan disfungsi muskuloskeletal.

Faktor biologis penyebab disparenia, termasuk mikroangiopati atau penyakit pembuluh darah, misalnya aterosklerosis sekunder akibat hiperkolesterolemia, merokok, atau usia.

Hasil observasi Meana dkk (1997) menemukan bahwa lokasi rasa sakit dan onset di dalam suatu episode hubungan seksual adalah prediktor terkuat dari etiologi organik. Pelbagai variabel psikososial, seperti faktor-faktor situasional, penyesuaian hubungan, dan riwayat pelecehan seksual, tidak memiliki nilai prediktif.

Kondisi lain yang berkontribusi terhadap perkembangan disparenia, seperti lubrikasi vagina yang buruk, penyusutan (atrofi) vagina, dan persalinan.
Melahirkan merupakan faktor risiko untuk pengembangan nyeri panggul dan/atau disparenia selama dan setelah periode postpartum.

Studi potong-lintang tentang efek persalinan pada kesehatan seksual melaporkan bahwa sekitar 17 persen hingga 36 persen perempuan melaporkan disparenia pada enam bulan setelah persalinan, namun hanya 15 persen perempuan dengan disparenia postnatal berkonsultasi dengan penyedia layanan kesehatan.

Disparenia dapat menurunkan kebahagiaan secara umum, kualitas hubungan pasutri, kepuasan fisik dan emosional, respons orgasme, frekuensi hubungan intim, tingkat keinginan dan hasrat/gairah.

Wawancara klinis menyeluruh (anamnesis) dan pemeriksaan fisik yang kompeten akan berkontribusi terhadap penegakan diagnosis etiologi disparenia secara akurat sebagai disparenia organik, disparenia psikogenik, disparenia campuran, atau disparenia yang tidak diketahui penyebabnya.

Diagnosis pada kelompok yang terakhir dapat dikurangi secara dramatis dengan memasukkan langkah-langkah medis klasik untuk pendekatan gangguan nyeri dan mempertahankan sikap yang kompeten dan terbuka terhadap diagnosis gangguan seksual perempuan.

Saat mengukur nyeri, kuesioner laporan-diri tervalidasi berupa Kuesioner Nyeri McGill (McGill Pain Questionnaire), Indeks Fungsi Seksual Wanita (Female Sexual Function Index), atau skala ketidaknyamanan vulva PROMIS (Patient Reported Outcomes Measurement Information System) amat membantu dibandingkan dengan bertanya ke pasien untuk mengukur tingkat nyerinya dari satu hingga sepuluh.

Baca juga: Strategi sukses menghilangkan herpes

Baca juga: Memahami Ascites, perut berisi cairan seperti hamil


Solusi

Disparenia merupakan gangguan heterogen dengan beragam penyebab, terapi dapat bervariasi, terkadang meluas, sebagai fungsi dari patologi fisik, yang diduga berperan memunculkan nyeri.

Bagaimanapun juga, penelitian berhasil membuktikan bahwa dispareunia adalah multiperspektif-multifaktorial, di mana patologi fisik, faktor-faktor psikososial, genetik, dan neuroimunobioteknomedisin (NiBTM) dapat diuraikan secara terinci dan mendetail.

Diagnosis yang mengintegrasikan beragam faktor medikopsikoseksual merupakan langkah awal dalam tatalaksana efektif disparenia; suatu kondisi yang memerlukan penatalaksanaan yang berorientasi fisiopatologis dari faktor-faktor organik dan terapi yang terkait dengan masalah psikoseksual individu dan pasangan.

Menurut Dunkley dan Brotto (2016), pendekatan psikoterapeutik dapat membantu mengurangi rasa sakit atau sensasi nyeri seksual. Terapi perilaku kognitif dan kesadaran (mindfulness) yang digunakan dalam pengobatan depresi dan kecemasan juga menunjukkan kemanjuran dalam mengobati PVD (provoked vestibulodynia).

Rehabilitasi otot-otot dasar panggul, berkontraksi secara defensif melalui nyeri koitus kronis, merupakan hal penting nan khusus dalam manajemen disparenia.

Hal ini melibatkan peregangan dan relaksasi otot-otot yang berkontraksi, pijatan bekas luka (scar) yang pasti menimbulkan rasa sakit, peningkatan trofisme dari penggunaan terapi penggantian estrogen lokal dalam kasus distrofi vagina.

Saat relaksasi otot diperoleh, dilatasi aktif introitus dengan jari dan dilator tampaknya berguna secara klinis dalam mengurangi dispareunia, dan mengembalikan fungsi koitus menjadi normal, asalkan terdapat libido disertai hasrat-gairah yang adekuat.

Pendekatan nonfarmakologis untuk disparenia ada beberapa hal. Contohnya edukasi pasien, stop pelbagai aktivitas yang memperparah disparenia, zat iritan, dan obat-obatan, lubrikasi saat melakukan koitus, perubahan posisi sanggama, hindari penetrasi terlalu dalam, rendam dengan air hangat atau dingin, menggunakan dilator vagina sesuai petunjuk dokter.

Selanjutnya, melakukan teknik relaksasi, mempersering latihan otot vagina (salah satunya dengan senam Kegel), eksisi jaringan patologis, berikan jaminan kepada pasien yang penyakitnya tidak parah, operasi/pembedahan sesuai indikasi. Beberapa intervensi psikososial dapat dilakukan, seperti modifikasi perilaku, konseling umum, konseling pernikahan/hubungan, teknik desensitisasi sistemik.

Pendekatan interdisipliner yang mencakup kontribusi para pakar multidisipliner (misalnya ginekolog, seksolog, psikiater, terapis nyeri) diperlukan untuk memberikan tatalaksana yang komprehensif dan berkesinambungan kepada penderita disparenia.

*) dr Dito Anurogo MSc adalah dosen tetap FKIK Unismuh Makassar, pengurus Asosiasi Sel Punca Indonesia, instruktur literasi baca-tulis tingkat nasional 2019.

Baca juga: Misteri "hidronefrosis", kelainan sistemik ginjal berakibat kritis

Baca juga: Solusi mengatasi cerebral palsy

Copyright © ANTARA 2019