Pontianak (ANTARA) - Lima tahun lalu, hiruk pikuk ekonomi di Entikong, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Sarawak, Malaysia, sangat terasa.
Hilir mudik kendaraan yang masuk maupun ke luar Entikong, terutama yang mengangkut berbagai barang kebutuhan pokok, dengan mudah dilihat. Biasanya kendaraannya berupa truk box atau kontainer. Belum lagi lalu lalang kendaraan umum atau pribadi yang mengangkut penumpang melintasi pintu resmi pertama perbatasan darat di Indonesia-Malaysia tersebut.
Namun kini, suasana ramai tersebut tak lagi terlihat. Seperti yang terpantau pada Sabtu (19/10) pagi hingga siang, hanya beberapa mobil jenis MPV yang antre di pintu perbatasan, membawa penumpang yang ingin ke negeri jiran atau sebaliknya. Kalau pun membawa barang, cukup di bagasi bagian belakang mobil.
Ada bangunan megah untuk Terminal Barang Internasional Entikong yang berjarak sekitar satu kilometer dari Pos Lintas Batas Negara (PLBN), tapi masih tak terlihat aktivitasnya. Di sisi kanan PLBN, ada beberapa buruh angkut yang siap membawa barang dari wilayah Sarawak ke wilayah Kalbar.
Anggota DPRD Kabupaten Sanggau, Hendrikus Bambang seolah kembali mengenang masa lima tahun dan sebelumnya.
Ia mengungkapkan, saking bergairahnya ekonomi pada masa itu, masyarakat seolah enggan melirik berbagai program bidang kesejahteraan yang digelontorkan pemerintah.
Saat itu, menurut dia, masyarakat di perbatasan dan sekitarnya, benar-benar mendapat dampak langsung dari perputaran ekonomi yang terjadi. Politisi Partai Golkar itu pernah bertanya kepada seorang ibu-ibu paruh baya yang bekerja sebagai tukang pikul barang di pintu perbatasan berapa pendapatan yang diperoleh setiap hari.
Jawabannya cukup mengejutkan. Ibu tersebut dalam satu hari mampu mengumpulkan sekitar Rp500 ribu dengan waktu kerja dari subuh sampai sore. Ratusan warga di wilayah itu juga berprofesi sebagai buruh pikul di perbatasan.
Tokoh masyarakat perbatasan, Yohanes Anes mengatakan, saat ini perkembangan di Entikong luar biasa. Pos Lintas Batas Negara Entikong sejak era Presiden Joko Widodo, bangunannya dibongkar dan diganti dengan yang jauh lebih representatif. Bahkan jika dibandingkan dengan pos serupa di sisi Sarawak, Malaysia Timur.
Senada dengan Hendrikus Bambang, Yohanes Anes juga menilai terjadi penurunan perekonomian bagi warga perbatasan. Infrastruktur yang luar biasa pembangunannya di perbatasan, ternyata tidak secara langsung mampu mengubah tingkat ekonomi warga setempat.
Suara perbatasan
Kisah tersebut mencuat saat dialog "Indonesia Menyapa Perbatasan", yang digelar di RRI Entikong, yang terletak di Jalan Lintas Malindo, Entikong, Sanggau. Dialog tersebut direlay langsung ke seluruh Indonesia melalui jaringan RRI.
Dialog itu merupakan hasil kerja sama Kementerian Komunikasi dan Informatika, Perum LKBN Antara, dan RRI. Tema pada Sabtu, tanggal 19 Oktober 2019 mengangkat tentang "Mengembalikan Kejayaan Ekonomi Beranda Negara di Entikong".
Hendrikus Bambang dan Yohanes Anes merupakan nara sumber dalam dialog tersebut, termasuk Ketua Kadin Kabupaten Sanggau, Nur Kurniawan.
Nur Kurniawan menyoroti regulasi bagi pelaku usaha lokal. Menurut dia, selama ini hanya ada beberapa perusahaan yang menguasai perdagangan di lintas batas Entikong. Sementara peluang perdagangan dari Sanggau atau Indonesia ke Sarawak, terbuka lebar. Namun sayangnya regulasi yang ada tidak tersosialisasikan dengan baik sehingga masyarakat pun kesulitan untuk menyesuaikan aturan tersebut dengan kemampuan di tingkat lokal.
Belum lagi, ketika kebijakan impor dibuka di Entikong, kesiapan pengusaha lokal masih dipertanyakan.
Konsep perdagangan tradisional - moderen
Hendrikus Bambang menjelaskan, selama ini di perbatasan, berlaku Border Trade Agreement (BTA) antara Indonesia - Malaysia yang sudah berlaku puluhan tahun. Di perjanjian tersebut, masyarakat perbatasan mendapat kuota sebesar 600 Ringgit Malaysia sebulan untuk belanja berbagai kebutuhan di negeri jiran tersebut.
Pertimbangannya, perbatasan jauh dari pusat kota sehingga akan lebih mudah dan murah jika masyarakat setempat berbelanja di Sarawak jika dibandingkan ke Pontianak sebagai ibu kota provinsi atau Sanggau, ibu kota kabupaten.
Namun sayangnya, kebijakan tersebut terkadang berbenturan dengan aturan lain. Padahal, perjanjian perdagangan tradisional di perbatasan itu adalah dasar hukum perdagangan masyarakat setempat. Sejak pos perbatasan dibongkar dan dibangun dengan lebih permanen dan moderen, lambat laun masyarakat setempat mulai kesulitan menerapkan BTA tersebut.
Bahkan, masyarakat tidak diberikan pegangan regulasi khusus selama rentang waktu tersebut. Ia juga mempertanyakan "kekakuan" regulasi yang diterapkan aparat untuk perdagangan di perbatasan.
Ia mencontohkan jagung yang pasarnya terbuka lebar di Sarawak. Pedagang di Sarawak sebenarnya siap membeli produksi petani Sanggau dengan berbagai kadar air.
"Harganya disesuaikan dengan kualitas kering jagung yang di ekspor," kata Hendrikus Bambang.
Semakin kering, tentu harganya semakin mahal, bahkan bisa mencapai angka Rp8 ribuan per kilogram. Jauh jika dibandingkan di Indonesia yang ada di kisaran Rp3 ribuan hingga Rp4 ribuan.
Ketika petani lokal dibantu pengusaha ingin ekspor ke Sarawak, ternyata dianggap tidak memenuhi kualitas yang ditetapkan pemerintah pusat. Akibatnya, produksi petani hanya terserap pasar lokal yang harganya tidak semenarik di Sarawak.
"Akibatnya, jagung luar Kalbar dan Indonesia yang akhirnya diserap pengusaha Sarawak," ungkap dia. Padahal, Sanggau merupakan daerah yang sangat potensial dikembangkan untuk tanaman jagung.
Ia melanjutkan, jagung hanyalah contoh dari berbagai potensi Sanggau namun terhambat regulasi yang kaku di tingkat nasional. Sementara kalau menghitung potensi perdagangan dengan jumlah pemegang kartu pas lintas batas yang berjumlah sekitar 13 ribu orang, cukup luar biasa.
Dalam satu bulan, ada sekitar 600 ringgit Malaysia (sesuai BTA) dikalikan dengan13 ribu orang tersebut. "Artinya ada sekitar 7,2 juta ringgit Malaysia, atau setara Rp25 miliar potensi perdagangan di perbatasan secara tradisional, atau Rp858 juta sehari," kata dia. Angka tersebut tentu dapat mendorong perekonomian warga sekitar.
Kearifan lokal
Nur Kurniawan menyarankan agar pemerintah memperhatikan kondisi dan kearifan lokal dalam mengatur perdagangan lintas batas di perbatasan. Jangan sampai selama bertahun-tahun warga perbatasan dibiarkan tanpa regulasi yang mampu menghidupkan perekonomian sekitar.
Dari sisi pengiriman logistik, dengan infrastruktur yang semakin bagus, waktu tempuh pun semakin cepat. "Namun regulasi juga harus melihat kearifan lokal, apa yang menjadi potensi, apa yang menjadi kendala, namun ekonomi warga tetap tumbuh," kata Nur Kurniawan.
Sementara Hendrikus Bambang mengatakan, dengan semakin sulitnya warga mencari uang, jalan ilegal menjadi salah satu pilihan pahit bagi mereka. Ia tidak menutup mata ketika banyak warga perbatasan yang menjadi korban sindikat perdagangan narkoba antarnegara. Jalan tikus yang tersebar di perbatasan, ditambah kesulitan ekonomi warga, bukan tidak mungkin demi tuntutan perut, jalan pintas pun diambil.
"Kembalikan hak-hak masyarakat untuk upaya peningkatan kesejahteraan, beri ruang bagi mereka, jangan batasi masyarakat dengan sekat-sekat semu," katanya menegaskan.
Yohanes Anes berharap, di periode kedua Presiden Joko Widodo, masyarakat perbatasan semakin mendapat kejelasan baik dari sisi regulasi maupun potensi. "Masyarakat bangga, luar biasa atas pembangunan di perbatasan, tapi tolong beri regulasi, sehingga apa yang boleh atau tidak kami jual, menjadi lebih jelas," kata dia.
Hendrikus Bambang pun tidak ingin PLBN Entikong hanya menjadi lokasi ajang swafoto karena keindahannya, tapi juga memberi manfaat ekonomi bagi warga sekitar di perbatasan.
Baca juga: Warga perbatasan harapkan pembangunan bawa kesejahteraan
Baca juga: Panglima TNI-Kapolri tinjau perbatasan Indonesia-Malaysia
Pewarta: Teguh Imam Wibowo
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2019