Jakarta (ANTARA) - Pengamat pertahanan Connie Rahakundini Bakrie, menyebutkan masalah intoleransi masih menjadi salah satu penghambat upaya pembangunan nasional dan ketahanan nasional.
"Masih ada kelemahan pembangunan nasional menuju tercapainya 'national interest' Indonesia. Yang paling mengemuka saat ini yaitu pembangunan manusia yang terhambat karena masalah intoleransi," kata Connie dalam dialog Selasa bertema "Hubungan Pembangunan Nasional dan Ketahanan Nasional" di Auditorium DPP Partai NasDem, Jakarta, Selasa malam.
Dialog Selasa yang digelar DPP Partai Nasdem merupakan rangkaian diskusi menjelang perhelatan kongres ke II Partai Nasdem yang akan berlangsung pada 8-11 November 2019.
Salah satu faktor menguatnya intoleransi adalah adanya pemahaman yang salah terkait religiusitas yang terus masuk mencampuri pemerintahan negara.
"Konsep religiusitas membawa kepentingan nasional Indonesia justru kembali ke masa lalu dan bukan ke masa depan. Salah satu ciri-cirinya adalah adanya penolakan yang demikian besar terhadap pemimpin non-Muslim," tuturnya.
Saat ini Indonesia tidak akan mengalami perang seperti invasi pasukan langsung yang masuk ke dalam wilayah NKRI. Namun, perang yang akan dihadapi Indonesia adalah perang di media sosial.
"Perang kita ada di tangan kita, di media sosial. Ruang virtual internet sudah menjadi media perang. Di dunia ada 4 miliar orang pengguna internet. Orang dipaksa untuk berpikir, melihat dan mendengar. Ada perang informasi, ditransmisikan oleh semua media komunikasi. Kita berada di tengah situasi seperti saat ini," ujar Presiden Indonesia Institute for Maritime Studies itu.
Connie pun mengingatkan, hingga kini masih ada sekitar 800.000 situs di Indonesia yang terus menebar berita bohong (hoaks). Kondisi ini jika dibiarkan akan sangat berbahaya bagi kepentingan bangsa dan negara.
"Masih ada 800.000 hoaks site merajalela. Hoaks merajalela dengan ratusan ribu situs itu. Ini adalah kondisi yang cukup berbahaya jika dibiarkan," ucapnya.
Ia menambahkan, menguatnya intoleransi di Indonesia sudah menyebabkan ada sekitar 29,7 persen profesional muda yang tidak mendukung pemimpin non-Muslim dan ada sekitar 15.000 anggota TNI terbina oleh kaum radikal.
Di tempat yang sama, Ketua DPP Partai NasDem Bidang Pertahanan dan Keamanan, Supiadin Aries Saputra, mengatakan, sampai dengan saat ini ada sekitar 120 juta pengguna sosial di Indonesia. Dari jumlah itu, sebagian besar atau mayoritas datang dari kaum milenial.
"Media sosial menjadi media untuk kelompok radikal guna menghancurkan moral generasi milenial. Kita kenal dengan asimetrik warfare, perang anomali, ujung tombaknya proxy war, yakni perang yang tidak menggunakan angkatan perang," ucapnya.
Menurut Supiadin Aries Saputra, yang paling mungkin menghancurkan bangsa Indonesia adalah bangsanya sendiri.
Kalau dilihat dari indeks pengukuran ketahanan nasional laboratorium Lembaga Ketahanan Nasional, diketahui di bidang ideologi dan sosial budaya nilai atau indeks berada di posisi dua, atau tidak tangguh.
"Yang nilainya tidak tangguh yakni indeks 2 adalah di bidang ideologi. Di bidang sosial budaya juga rendah. Tingkat pendidikan rendah dan ini yang menyebabkan mudahnya penyebaran informasi menyesatkan di media sosial," kata Supiadin.
Baca juga: PWNU Lampung: Jangan beri ruang untuk paham radikal dan intoleransi
Baca juga: RI dan Denmark atasi ujaran kebencian, intoleransi dan ekstrimisme
Baca juga: Presiden bahas penyelesaian intoleransi dengan Pemuda Pancasila
Mendikbud ingin tangkal intoleransi di sekolah
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019