Jakarta (ANTARA News) - Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) menemukan adanya penghitungan "cost recovery" (biaya pemulihan) pada kontrak karya pertambangan yang tidak akurat.
Demikian diungkapkan Wakil Ketua BPK Udju Djuheri dalam pertemuan dengan Panitia Angket Kenaikan harga BBM di Gedung DPR/MPR Jakarta, Kamis. Pertemuan dipimpin Ketua Panitia Angket Zulkifli Hasan.
Namun penjelasan BPK tidak menyebutkan kerugian negara dan pihak yang harus bertanggungjawab atas temuan itu.
Udju menjelaskan, fokus audit BPK meliputi dua hal, yaitu pemeriksaan pelaksana KKS/PSC (hulu) dan pemeriksaan subsidi BBM (hilir). Pemeriksaan hulu menyangkut produksi (lifting) dan "cost recoverable" (cost recovery dan insentif).
Selain penghitungan "cost recovery" yang tidak akurat, dalam audit BPK juga ditemukan biaya yang tidak dapat diperhitungkan sebagai "cost recovery" (tidak ada persetujuan terlebih dahulu, tidak relevan serta ketidakpatutan) dan transaksi afiliasi.
BPK juga menemukan pengendalian internal yang menyangkut pengendalian dan pengawasan produksi serta pengendalian biaya oleh BP Migas. BPK menemukan identifikasi kelemahan klausul kontrak kerjasama (KKS) dan pelaksaan KKS.
Mengenai kelemahan klausul kontrak, meliputi klausul yang longgar tentang biaya operasi, klausul "punishment" (hukuman) belum diatur (jika terbukti ada pembebanan biaya yang tidak relevan), baik dalam "operating cost" (biaya operasi) maupun dalam capital cost).
Hal ini penting karena perhitungan "cost recovery" dilakukan secara "self assesment".
Terkait hasil pemeriksaan terhadap subsidi BBM, BPK menjelaskan bahwa sejak tahun 2006 subsidi Jenis BBM Tertentu (JBT) per liter adalah pengeluaran negara yang dihitung dari selisih antara harga jual eceran per liter dengan pajak-pajak dan harga patokan/liter JBT.
Rekapitulasi koreksi subsidi JBT oleh BPK untuk tahun 2006 sebesar Rp1,1 triliun lebih dan tahun 2007 sebesar Rp6,6 triliun lebih.
Penyebab adanya koreksi subsidi JBT oleh BPK adalah adanya kesalahan perhitungan harga patokan untuk perhitungan subsidi (koreksi harga patokan), adanya ketidaktepatan pengenaan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) dalam penyaluran JBT (koreksi harga eceran).
Selain itu, adanya penyaluran JBT yang tidak tepat sasaran (koreksi volume JBT).(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008