Surabaya (ANTARA News) - Sri Sultan Hamengku Buwono (HB)X mengungkapkan adanya kebutuhan mendesak melahirkan kembali kepemimpinan global untuk mengatasi berbagai krisis di dunia, khususnya Indonesia.Menurut Sri Sultan, kepemimpinan global tersebut harus mampu mencapai tujuan-tujuan utama global yang dirumuskan dalam "Millennium Development Goals" (MDGs)."Salah satu yang mendesak disebut dalam MDGs adalah lingkungan hidup," katanya di acara Simposium Nasional Riset dan Kebijakan Ekonomi, Dampak Bencana Alam dan Lingkungan Terhadap Pengelolaan Ekonomi Indonesia di Aula Fadjar Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Kamis.Disebutkan bahwa lingkungan hidup akan menjadi masalah besar bagi Indonesia dimasa yang akan datang.Hal itu sesuai hasil survey "Environmental Performance Index (EPI) 2008 oleh universitas Yale dan columbia menyebutkan bahwa Indonesia berada di urutan ke-102 dari 149 negara berwawasan lingkungan. Peringat tersebut jauh di bawah negara berwawasan lingkungan lainya seperti Brasil pada urutan ke-35.Bahkan dengan Malaysia yang berada di urutan ke-26. Ini semua, kata dia, dikarenakan Indonesia dianggap tidak mampu menangani masalah emisi gas rumah kaca, deforestrasi, perikanan, kualitas air, konservasi alam, dan keharmonisan hubungan alam dengan manusia. Masalah lingkungan, menurut dia, tidak pernah berdiri sendiri, kerana berkaitan dengan pilihan sistem ekonomi, politik, sosial, menyangkut HAM dan keadilan pengelolaan sumberdaya alam. "Menyelesaikan masalah lingkungan hidup dengan tepat berarti memberikan jalan untuk mengurangi beberapa masalah lainya," katanya. Jika melihat tantangan yang begitu besar, barangkali tipe kepemimpinan yang dibutuhkan Indonesia ke depan adalah tipe yang peduli terhadap lingkungan atau "eco-sexsual". "Eco-seksual" yang dimaksud adalah budaya tandingan terhadap metroseksual atau individu yang sadar terhadap penampilan, yang ditopang pola hidup konsumtif. Calon pemimpin "eco-sexsual" setidaknya harus mempunyai tiga ciri yakni pertama memiliki visi yang jelas tentang pembangunan berwawasan keberlanjutan ekologi dan bukan hanya berhenti pada pembangunan berkelanjutan. Kedua, tidak pernah terlibat dalam kegiatan yang merusak lingkungan hidup, mensemponsorinya, atau mengesahkan peraturan yang merusak lingkungan. "Terakhir tidak menerima dana kampanye dari perusahaan dan pengusaha yang terlibat dalam kasus lingkungan hidup, atau potensial menimbulakn kerusakan dan pencemaran," katanya.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008