Bogor (ANTARA) - Kehidupan manusia saat ini menghadapi tantangan dan resiko luar biasa, salah satunya akibat perubahan iklim global yang memicu terjadinya bencana secara natural maupun imbas dari aktivitas manusia.
"Guna mencegah dan meminimalisir risiko yang dihadapi dalam kehidupan manusia perlu adanya keseimbangan empat dimensi untuk keberlangsungan kehidupan manusia," kata Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI, Prof Dr Enny Sudarmonowati, di Bogor, Senin.
Enny Sudarmonowati mengatakan hal itu di sela kegiatan "Humanosphere Science School 2019" and "9th International Symposium on Sustainable Humanosphere" di Bogor pada Senin dan Selasa, 28-29 Oktober 2019.
Baca juga: Walhi: Global serius melihat dampak perubahan iklim terhadap ekonomi
Kegiatan tersebut diselenggarakan bersama oleh LIPI dan Research Center for Sustainable Humanosphere (RISH) Kyoto University Jepang. Pada kegiatan itu hadir para pakar, peneliti, dan profesional, dari Jepang, Thailand, Malaysia, Prancis, dan Indonesia.
Menurut Enny Sudarmonowati, keseimbangan empat dimensi untuk keberlangsungan kehidupan manusia meliputi, manusia dan habitatnya, hutan dan lingkungannya, atmosfer, serta antariksa, yang terintegrasi dalam konsep humanosphere. "Keseimbangan empat dimensi ini menjadi sangat vital demi keberlangsungan kehidupan manusia serta seisi alam semesta," katanya.
Enny menjelaskan, aktivitas manusia tidak dapat dipungkiri memberikan dampak yang kompleks terhadap keseimbangan alam semesta. "Pertumbuhan populasi adalah salah satu tantangan multidimensi yang paling serius, kompleks, dan dilematis, yang harus dihadapi oleh manusia pada abad ini," katanya.
Baca juga: Fiji dan Indonesia punya kepentingan sama untuk lawan perubahan iklim
Meningkatnya jumlah populasi manusia, kata dia, berarti semakin banyak aktivitas manusia di muka bumi yang memicu pemanasan global, sehingga mempengaruhi perubahan cuaca menjadi lebih ekstrem.
"Kegiatan-kegiatan manusia yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber energi dari bahan bakar fosil, penebangan hutan, dan perubahan penggunaan lahan, berdampak melepaskan lebih banyak emisi gas rumah kaca ke udara, menjadi terakumulasi di atmosfer, dan pada akhirnya membuat bumi lebih panas," kata Enny.
Enny menegaskan, tidak ada negara yang dapat mengantisipasi tantangan ini sendirian.
"Tantangan dan resiko ini terjadi, terkait erat dengan aspek pendirian politik, rencana pembangunan, pilihan teknologi, kondisi sosial ekonomi, dan perjanjian internasional. Namun, adanya pilihan kebijakan yang cerdas dapat memberikan manfaat ekonomi, kesehatan, dan lingkungan," katanya.
Enny menambahkan, kegiatan "Humanosphere Science School" dan "International Symposium on Sustainable Humanosphere" ini merupakan wadah pertemuan ilmiah bagi para pakar, profesional, peneliti, dan akademisi, dari berbagai bidang disiplin ilmu dalam upaya mencari solusi terkait keseimbangan alam semesta yang telah mengalami ketidakharmonisan.
Pewarta: Riza Harahap
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019