Jakarta (ANTARA) - Perkembangan teknologi dari analog ke digital dalam memproduksi musik, secara langsung turut mengubah industri musik, terutama bagaimana musik itu dibuat dan dikonsumsi.
Pada era analog, musisi rock Indonesia pernah merasakan manisnya penjualan album fisik, misalnya God Bless melalui album Semut Hitam pada 1988 dengan total penjualan sekira 400 ribu copy. Sedangkan pada era semi-digital Jamrud bisa menembus 2 juta copy melalui album Ningrat pada 2000.
Padi, Dewa, dan Cokelat adalah beberapa band yang dengan embel-embel rock -- rock alternatif atau pop-rock -- yang pernah mencicipi manisnya era musik dari sisi bisnis sebelum era digital benar-benar bergulir.
Era digital dalam produksi musik ibarat "taman bermain" bagi musisi. Mereka bisa menciptakan efek suara, bereksperimen, dan proses rekaman menjadi lebih praktis.
Baca juga: Histori Rock Indonesia, saat musik cadas kian berwarna di 90-an
Namun, kehadiran teknologi digital juga mengantarkan masalah. Padahal, sebelumnya kita sepakati bahwa teknologi digital begitu berguna dalam proses produksi.
Permasalahannya adalah ketika format musik digital MP3 begitu mudah diunduh, disebar, dan dinikmati dalam bentuk "bajakan".
"Manis banget, tapi zaman berubah. Masa kaset ke CD tidak terlalu terasa. Tapi ketika CD dihajar MP3, itu terasa banget. Bajakan di mana-mana. Tapi, musik tetap bertahan," kata pemain bas grup Cokelat Ronny Febry Nugroho kepada ANTARA.
Produk bajakan bukan hal baru dalam industri musik karena sudah sejak zaman kaset pita. Jadi, bukan alasan bagi musisi untuk habis akal meski tetap susah untuk dilawan.
Baca juga: Histori rock Indonesia, kiprah sang "Dewa Rock"
Penjualan album fisik pada awal 2000-an terus menurun. Bahkan setelah era itu, tidak ada album yang bisa menembus satu juta kopi hingga 2010. Jangan tanya bagaimana era sekarang, tembus 150 ribu copy saja sudah mendapat gelar platinum.
Tentu, hal itu adalah dekade yang penuh tantangan untuk pemusik. Lantas bagaimana mereka bertahan dalam periode transisi teknologi dan bisnis itu?
"Jangan karena pernah jual satu juta copy dan sekarang cuma jual 150 ribu, terus jadi lemah dan malas," kata Ronny. "Justru itu tantangannya. Bagaimana berkarya saat teknologi terus bergerak. Ada digital, ada streaming, dan bagaimana peluang pada masa depan."
"Teruslah berkarya, karena karya terbaik akan tetap dicari. Musik tak akan mati. Bisnis lain tidak mati dengan hadirnya digital, bukan?" kata dia.
Eet Sjahranie, gitaris Edane dan mantan personel God Bless, tidak punya resep khusus untuk bertahan di skena musik rock selama lebih 30 tahun, selain semangat untuk terus berkarya.
Baca juga: Histori rock Indonesia, grunge dan rombongan "bawah tanah"
"Kuncinya karena senang. Bukan tak butuh duit. Tapi kalau senang, ya tak kepikiran yang lain. Berkarya saja terus," kata Eet.
Gitaris nyentrik penggemar band hard-rock Van Halen itu tidak mau ambil pusing soal pergeseran teknologi analog ke digital yang turut mengubah pola pendengar dari kaset ke streaming melalui ponsel.
"Digital itu memberikan hal yang praktis," katanya. "Tidak ada kesulitan dan memang harus ikut zaman."
Selain pernah sukses bersama God Bless, nama Eet juga pernah berkibar saat Edane merilis album 170 Volts pada 2002 dengan hits "Kau Pikir Kau Lah Segalanya".
Dalam transisi pola rekaman, Eet mengakui Edane pun beradaptasi menuju era digital. "Kami sudah digital sejak 2004. Terakhir yang semi-digital pada 2001. Awalnya masih pakai pita, terus pindah ke digital," kata Eet.
Baca juga: Histori rock Indonesia, rivalitas musik dan Aktuil sebagai barometer
Streaming
Studi "Music in the Digital Age: Musicians and Fans Around the World 'Come Together' on the Net" dari State University Winston-Salem, North Carolina Amerika Serikat, menemuka ada tiga jenis pendengar musik.
Pertama adalah pendengar yang siap atau berusaha membeli karya. Kedua adalah yang tidak pernah membeli tapi menikmati musik melalui radio atau televisi. Dan, ketiga adalah penikmat musik bajakan.
Saat penjualan CD menurun dihantam mudahnya akses musik bajakan, teknologi terus berinovasi sampai kemunculan layanan streaming musik. Penikmat musik ilegal tidak perlu membajak musik karena cukup dengarkan melalui aplikasi streaming. Sedangkan pendengar loyal tentu akan tetap membeli album fisik.
Streaming musik juga membuka jendela bagi pendengar musik lainnya untuk mencoba mendengarkan musik-musik baru. Penggemar rock bisa mendengarkan musik jazz atau country tanpa harus membeli, sedangkan musisi tetap mendapatkan haknya dari pemutar digital itu.
Musisi Eddi Hidayatullah atau akrab disapa Eddi Brokoli menilai era musik rock sudah lebih terbuka dan lepas dari pakem-pakem rock terdahulu.
Baca juga: Histori Rock Indonesia, era 2000-an banjir musik alternatif
"Sekarang, rock semakin ramai. Jika gua punya anak pada era 2000-an, mungkin rak kasetnya berisi Metallica, Pantera, Antrax, Slayer, alias satu genre semua. Bisa juga Sex pistols, The Clash, Ramones, dan kawan-kawannya," katanya.
"Tapi, anak rock sekarang bisa saja habis dengan Greenday pindah ke Coldplay, dan lain-lain. Mereka tak salah, memang era ini membuat referensi menjadi banyak," kata vokalis grup musik Harapan Jaya itu.
"Sekarang, semua orang layak menjadi music director karena referensi musiknya banyak."
Era musik streaming juga membuka mata penikmat musik untuk menyimak perkembangan terkini. Tanpa harus berburu kaset, cukup pijat layar ponsel.
"Saat gua buka Youtube, gua mau tahu the latest band rock. Ternyata, banyak yang gua belom tahu. Ternyata, ada band ini, musik rock sekarang seperti ini. Tapi, ada juga band rock yang lain, yang berbeda," kata Ronny.
Baca juga: Gelombang indie era 2000-an melawan kejenuhan pop melayu
Bukan sekadar membuat musik lebih praktis, era streaming juga memberikan harapan kepada para musikus untuk mendapatkan hak-haknya dari lagu-lagu yang diputar secara digital.
"Sejauh ini belum cek detail. Tapi, ada report dari record company kalau memang ada yang masuk dan digital itu ada efeknya," kata Eet.
Eet, Ronny dan Eddi menilai era musik streaming membuka peluang seluas-luasnya kepada calon musikus untuk berkarya. Berkat kemudahan digital, musik bisa diproduksi di rumah, didistribusikan lewat platform online, tanpa terikat label rekaman, biaya rendah, efisien, dan dapat menyentuh segmen pendengar secara spesifik.
Satu lagi, melalui platform digital berbasis web, musikus tidak hanya menyuguhkan lagu, melainkan informasi jadwal panggung, musik hingga penjualan merchandise dalam satu paket.
"Kuncinya adalah karya. Terus berkarya, nanti ketemu jalannya," kata Ronny.
Baca juga: Musik rock sudah mati atau stagnasi?
Editor: Imam Santoso
Copyright © ANTARA 2019