Massa udara yang kering dan panas tersebut menyebabkan sulitnya pertumbuhan awan.
Jakarta (ANTARA) - Rawing mengelap keringat yang menetes di wajahnya yang gelap dengan handuk kecil yang melingkar di lehernya.
"Panas benar, beberapa hari ini panas sekali...," kata pria berusia 40 tahun itu saat berkeliling menjajakan mangga dagangannya.
Padahal waktu masih menunjukkan sekitar pukul 09.00 WIB, tapi suhu panas di aplikasi telepon pintar menunjukkan angka 32 derajat Celcius di kawasan Jakarta Timur.
Begitu pula dengan Ari, warga Klender, yang memilih berbaring di ubin rumahnya untuk menghalau suhu panas meski kipas angin sudah berputar kencang di sampingnya.
Bukan hanya hari itu saja udara terasa panas menyengat, beberapa hari terakhir suhu udara Jakarta memang tinggi, terdata pada 24 Oktober 2019 suhu 39,6 derajat Celsius di daerah Ciputat, Jakarta Selatan.
Suhu panas juga dialami sejumlah daerah lainnya. Berdasarkan data stasiun pengamatan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di Sulawesi yang mencatat suhu udara maksimum tertinggi, yaitu Stasiun Meteorologi Hasanuddin (Makassar) 38.8 derajat Celcius pada 20 Oktober lalu.
Diiikuti Stasiun Klimatologi Maros 38.3 derajat Celcius dan Stasiun Meteorologi Sangia Ni Bandera 37.8 derajat Celcius.
Stasiun-stasiun meteorologi yang berada di Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara mencatatkan suhu panas maksimum terukur berkisar antara 35 derajat hingga 36,5 derajat Celcius pada periode 19-20 Oktober 2019.
BMKG juga mencatat dalam 24 jam terakhir suhu udara tertinggi yang diamati BMKG tercatat 38,8 derajat Celcius di Jatiwangi, Cirebon.
Suhu panas tersebut menurut pengamatan BMKG masih akan berlangsung hingga sepekan ke depan, terutama di Jawa, Bali, NTB, NTT dan Sulawesi.
Posisi Matahari
Deputi Bidang Meteorologi BMKG R Mulyono R Prabowo mengatakan, suhu panas yang terjadi di wilayah Indonesia merupakan fenomena akibat adanya gerak semu matahari yang merupakan suatu siklus yang biasa dan terjadi setiap tahun.
Seperti diketahui pada bulan September, matahari berada di sekitar wilayah khatulistiwa dan akan terus bergerak ke belahan bumi selatan hingga Desember 2019.
Sehingga pada Oktober, posisi semu matahari akan berada di sekitar wilayah Indonesia bagian Selatan yaitu Sulawesi Selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan sebagainya.
Kondisi ini menyebabkan radiasi matahari yang diterima oleh permukaan bumi di wilayah tersebut relatif menjadi lebih banyak, sehingga akan meningkatkan suhu panas udara pada siang hari.
Baca juga: Kemenkes minta masyarakat waspadai dampak kesehatan akibat suhu panas
Baca juga: BMKG imbau masyarakat batasi aktivitas di luar ruangan saat suhu panas
Baca juga: Enam langkah menjaga tubuh saat cuaca panas di Jakarta
Selain itu pantauan beberapa hari terakhir, atmosfer di wilayah Indonesia bagian selatan relatif kering sehingga sangat menghambat pertumbuhan awan yang bisa berfungsi menghalangi panas terik matahari.
Minimnya tutupan awan ini akan mendukung pemanasan permukaan yang kemudian berdampak pada meningkatnya suhu udara.
Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Fachri Radjab mengatakan, posisi semu matahari saat ini sedang berada di sekitar ekuator, sehingga pemanasan dari sinar matahari maksimal.
.
Saat ini juga, massa udara yang berada di atas Indonesia, khusus bagian selatan Indonesia berasal dari selatan, yaitu Australia yang bersifat kering dan panas.
"Massa udara yang kering dan panas tersebut menyebabkan sulitnya pertumbuhan awan. Karena awan minim (langit cerah), maka pemanasan dari sinar matahari langsung diterima bumi tanpa terhalang awan sehingga suhu makin naik," katanya.
Karena kondisi ini merupakan siklus matahari sehingga potensi suhu udara panas seperti saat ini juga dapat berulang pada periode yang sama setiap tahunnya.
Tahun lalu suhu tertinggi tercatat oleh Stasiun Meteorologi Temindung di Samarinda mencapai 39,6 derajat Celcius. Sebelumnya juga tercatat suhu 39,5 derajat Celcius pada tahun 2015 di Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah.
Bukan Gelombang Panas
Penjelasan BMKG itu sekaligus menangkis isu akan terjadinya gelombang panas di Indonesia, seperti yang beredar di media sosial.
Sebelumnya gelombang panas melanda sejumlah negara, seperti di Belanda pada akhir Juli lalu. Tercatat ratusan orang meninggal akibat gelombang panas di Negeri Kincir Angin itu dengan temperatur 40 derajat Celcius.
Baca juga: BMKG sebut Indonesia bukan dilanda gelombang panas tapi suhu panas
Baca juga: Hoaks, gelombang panas ekstrem landa Indonesia hingga tiga hari ke depan
Baca juga: Info gelombang panas landa Malaysia dan Indonesia, ini penjelasannya
Di Prancis suhu pada Juli lalu mengalami suhu terpanas dalam sejarah gelombang panas, yaitu mencapai 41 derajat Celcius, sedangkan suhu di Inggris mencapai 39 derajat Celcius.
Begitu juga di Negeri Sakura, suhu panas telah menewaskan setidaknya 57 orang di seluruh Jepang sejak akhir Juli lalu.
Dalam rentang antara 29 Juli sampai 4 Agustus, sedikitnya 57 orang tewas akibat gelombang panas di seluruh Jepang dan 18.347 lainnya dirawat di rumah sakit. Di Tokyo saja, 45 orang meninggal sejak 1 Agustus lalu, yang sebagian besar adalah orang tua yang tinggal sendiri.
Deputi Bidang Meteorologi BMKG R Mulyono Prabowo menjelaskan, gelombang panas terjadi pada wilayah yang terletak pada lintang menengah dan tinggi.
Sementara wilayah Indonesia terletak di wilayah ekuator yang secara sistem dinamika cuaca tidak memungkinkan terjadinya gelombang panas.
Meski bukan gelombang panas, masyarakat perlu mewaspadai dampak dari suhu tinggi yang sedang berlangsung.
Untuk menghindari dehidrasi maka dianjurkan untuk minum air putih yang cukup serta mengenakan pakaian yang melindungi kulit dari sinar matahari jika beraktivitas di luar ruangan.
Masyarakat juga perlu mewaspadai aktivitas yang dapat memicu kebakaran hutan dan lahan khususnya di wilayah-wilayah yang memiliki potensi tinggi terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Baca juga: Panas ekstrem? Lakukan hal ini agar tetap bugar
Baca juga: Kurir sepeda kebanjiran order, meski cuaca panas landa Jakarta
Baca juga: BMKG perkirakan suhu udara Indonesia akan lebih panas
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019