Jakarta (ANTARA News) - Seperti halnya angin yang setiap saat selalu berubah arah, harga minyak dunia pun sulit diprediksi. Saat berbagai kalangan beberapa bulan lalu mengkhawatirkan harga minyak akan terus melonjak dan bahkan menembus level 200 dolar AS per barel, ternyata belakangan ini justru sudah merosot jauh dan mendekati 110 dolar AS per barel. Harga emas hitam tersebut hanya sempat menyentuh rekor tertinggi dalam sejarah, yakni 147 dolar AS per barel pada 11 Juli lalu. Fluktuasi harga minyak yang cenderung mengejutkan diperkirakan masih akan terus berlanjut hingga tahun 2009 mendatang. Presiden Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) Chakib Khelil memprediksi, harga minyak dunia akan terus merosot dan akan menuju kesimbangan baru, yakni di kisaran 70-80 dolar AS per barel. Keyakinan Chakib tersebut dikarenakan tingkat harga minyak sekarang ini tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. "Harga sekarang ini lebih disebabkan spekulasi harga minyak di waktu mendatang, bukan akibat faktor pasokan dan permintaan," katanya. Faktor lain, lanjutnya, adalah kondisi geopolitik, terutama di Iran dan Irak yang akan semakin membaik. Ditambah lagi, mata uang dolar AS akan semakin menguat dan permintaan minyak China dan India juga tidak akan setinggi dulu lagi karena sudah mencapai keseimbangannya. Sedangkan Gubernur OPEC untuk Indonesia, Maizar Rahman, memperkirakan harga minyak mentah dunia akan menuju ke level 100 dolar AS per barel dalam waktu dekat. "Harga minyak yang turun sekarang ini terutama disebabkan menurunnya permintaan, sementara pasokan tetap normal," katanya. Menurut Maizar, harga minyak akan bergerak dalam kisaran 100 dolar AS per barel sampai 120 dolar AS per barel. Seperti halnya APBN 2008, pemerintah pun berulang kali merevisi asumsi harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) dalam RAPBN 2009 akibat fluktuatifnya harga minyak dunia. Awalnya pemerintah mengajukan asumsi ICP dalam RAPBN 2008 hanya 60 dolar AS per barel, namun direvisi dalam APBN Perubahan menjadi 95 dolar AS per barel. Asumsi terakhir itu pun jauh di bawah realisasi ICP antara Januari hingga Juli 2008 yang 113 dolar AS per barel dan diperkirakan rata-rata mencapai 110 dolar AS per barel sampai akhir tahun. Sedang dalam penyusunan RAPBN 2009, setelah sempat mematok 140 dolar AS per barel, kemudian direvisi menjadi 130 dolar AS per barel, dan terakhir seperti disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraan sekaligus penyampaian keterangan pemerintah atas RAPBN 2009 beserta nota keuangannya di Sidang Paripurna DPR di Jakarta, Jumat (15/8), pemerintah mengajukan 100 dolar AS per barel. Begitu sulitnya diprediksi, sampai-sampai pemerintah mesti melampirkan dokumen Nota Keuangan tambahan yang sudah memasukkan asumsi harga minyak sesuai penurunan harga minyak dunia terkini saat Presiden menyampaikan pidatonya. Sebab, buku Nota Keuangan yang telah diterima DPR sebelumnya, disusun berdasarkan postur RAPBN 2009 yang masih menggunakan asumsi harga minyak yang belum dimutakhirkan dengan perkembangan terkini. Presiden mengatakan, tahun 2008 adalah tahun yang sulit dan sarat dengan tantangan, khususnya dengan tingginya harga minyak yang mencapai titik tertinggi dan harga pangan di berbagai penjuru dunia yang melonjak drastis. Beban subsidi minyak dan listrik diperkirakan akan naik tiga kali lipat sampai akhir tahun, dibanding anggaran subsidi energi pada APBN tahun 2008. "Meski kita tidak bisa memungkiri bahwa subsidi energi ini lebih banyak dinikmati oleh mereka yang memiliki mobil, dan mereka yang memiliki rumah dengan daya listrik yang besar," kata Presiden. Padahal, lanjutnya, dana itu seharusnya dimanfaatkan membantu jutaan rakyat yang masih miskin, yang jauh lebih membutuhkan bantuan dari pemerintah. Sulit Diprediksi Presiden juga memperkirakan, harga minyak dunia cenderung masih mengalami pergolakan dan sulit diprediksi dalam beberapa waktu ke depan. Namun, pemerintah berketetapan mengusulkan asumsi tingkat harga minyak mentah Indonesia dalam RAPBN tahun 2009, adalah sebesar 100 dolar AS per barel. Pilihan itu, menurut Presiden, telah mencerminkan perkembangan pergerakan harga minyak dunia terakhir dan berbagai proyeksi yang paling mutakhir. Asumsi itu juga masih dalam kisaran rekomendasi Komisi VII DPR sebesar 95-120 dolar AS per barel. Meskipun demikian, pemerintah akan tetap menjaga APBN dari risiko gejolak kenaikan harga minyak seperti yang terlihat dalam kurun 18 bulan terakhir. Pemerintah pun mengalokasikan dana yang dapat menutupi risiko harga minyak hingga ke tingkat 130 dolar AS per barel. "Hal ini disebabkan karena APBN kita jauh lebih rawan terhadap tekanan harga minyak yang lebih tinggi, dibanding jika harga minyak turun," ujar Presiden. Pengamat perminyakan Pri Agung Rakhmanto menilai, asumsi ICP sebesar 100 dolar AS per barel sudah cukup realistis. "Meski, masih berisiko," kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute itu. Ia menambahkan, realistis jika melihat kecenderungan penurunan harga minyak beberapa minggu terakhir yang sudah mendekati 110 dolar AS per barel. Namun, lanjutnya, berisiko jika tidak ingin terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) lagi. "Sebab, tidak ada jaminan bahwa penurunan harga minyak akan tetap konstan tahun depan," katanya. Selain juga, faktor penguatan nilai tukar dolar AS dan ketegangan nuklir Iran yang bisa jadi akan menentukan pergerakan harga minyak selanjutnya. Namun, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, MS Hidayat berpandangan lain. Ia menilai asumsi ICP sebesar 100 dolar AS per barel terlalu optimis, sebab harga minyak dunia yang turun belakangan ini belum mencerminkan kondisi sebenarnya. "Kondisi ini saya pikir tidak akan menjamin terus berlanjut di tahun 2009," katanya. Hidayat berpendapat, asumsi ICP dalam RAPBN 2009 yang realistis adalah 110 dolar AS per barel. Fluktuasi harga minyak dunia memang diperkirakan masih akan membayangi anggaran negara di tahun 2009. Namun, kalaupun harga minyak di tahun 2009 meleset jauh dari asumsi 100 dolar AS per barel, pemerintah masih bisa mengajukan perubahan APBN pada pertengahan tahun mendatang. (*)
Pewarta: Oleh Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2008