Jakarta, (ANTARA News) - Pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Sidang Paripurna DPR RI, Jumat (15/8), banyak berisi apologi dan klaim keberhasilan. "Pidato tersebut lebih banyak berisi pembelaan diri atau apologi, dengan membangun optimisme yang terlalu berlebihan di tengah kondisi rakyat yang semakin sulit," kata Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Aria Bima kepada ANTARA di Jakarta, Senin. Selain apologi, isi pidato sebagian besar hanya berupa klaim keberhasilan. "Dapat kami katakan, pidato tersebut juga tidak jujur mengakui berbagai kekurangan atau kegagalan yang telah dilakukan pemerintah. Dengan demikian, substansi pidato tersebut cenderung hanya meninabobokan masyarakat dan masih saja dalam bingkai retorika `tebar pesona`," katanya. Aria Bima menambahkan, beragam persoalan yang terbengkelai dan belum di atasi pemerintah. "Seperti krisis penyediaan listrik, kekacauan program buku elektronik bagi sekolah dasar dan menengah, kegagalan program energi alternatif (biofuel), jumlah penduduk miskin yang meningkat drastis menyusul kenaikan bahan bakar minyak (BBM), keterlambatan pemerintah membayar piutang rumah-rumah sakit dalam program Askeskin (Jamkesmas)," katanya. Mengenai krisis listrik, dia menilai dampaknya luar biasa. Krisis ini tak hanya menghantam kalangan industri manufaktur, tapi juga berpotensi menggagalkan program masuknya investasi asing dan tahun kunjungan wisata (`Visit Indonesia Year` 2008) yang dicanangkan pemerintah. Keberhasilan program penghematan listrik yang diklaim pemerintah untuk mengatasi krisis listrik, dinilainya hanya dibuktikan dengan cara sepele. "Yakni turunnya tagihan rekening listrik Istana Presiden," katanya. Di sisi lain, anak usia SD, SMP dan SMA tahun ajaran ini harus memulai sekolah tanpa buku pelajaran sebagai pegangan, akibat kacaunya program buku elektronik pemerintah. Kebijakan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), yang membeli hak cipta buku pelajaran dan melarang penjualan langsung buku pelajaran oleh penerbit ke sekolah serta meminta masyarakat atau pihak sekolah mengunduh buku elektronik yang telah dibeli hak ciptanya dari internet, sangat bersifat bias kota. Artinya, kebijakan ini cenderung hanya realistis bagi masyarakat kota. "Itupun kelas menengah ke atas, yang sudah terbiasa mengakses dunia maya. Sedangkan bagi siswa, sekolah, atau guru miskin di pedesaan atau kota-kota kecil, kebijakan tersebut sangat menyulitkan, lantaran peranti komputer atau internet belum dapat mereka akses," katanya. Kekacauan kebijakan perbukuan ini, menambah daftar minus kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan. Misalnya buruknya kesejahteraan guru dan peneliti serta sarana maupun prasarana sekolah. Aria Bima menyesalkan pemerintah menjanjikan anggaran pendidikan 20 persen dalam RAPBN 2009 setelah ada keputusan MK. Mengenai angka kemiskinan yang diklaim menurun, kata Aria Bima, juga tidak sejalan dengan kenyataan sebagaimana terlihat di lapangan. "Sebab kenyataannya, tak sedikit masyarakat bunuh diri lantaran kemiskinannya. Kasus gizi buruk dan kelaparan juga masih dijumpai dan jadi pemberitaan pers," katanya. Karena itu, klaim pemerintah mengenai angka kemiskinan semakin menurun, perlu dibuktikan dengan fakta riil di lapangan. "Apalagi berbagai survei lembaga independen memperlihatkan, jumlah warga miskin meningkat drastis menyusul kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM belum lama ini," ujarnya. Sementara itu, angka pertumbuhan ekonomi yang diklaim meningkat dari 5,5 persen pada 2006 menjadi 6,4 persen (semester I 2008), juga patut dikritisi. "Sebab, bagi fraksi kami, apa artinya angka pertumbuhan meningkat jika sektor riil tetap terpuruk dan tidak mampu mengatasi pengangguran dan kemiskinan," katanya. Aria Bima mengakui, program energi alternatif memang disinggung. "Akan tetapi, bagaimana pemerintah telah menelantarkan program pengembangan biofuel, tidak disinggung-singgung," katanya. Padahal, program ini semula dicanangkan sendiri oleh Presiden dan melibatkan para petani di berbagai daerah untuk menanam tanaman jarak sebagai bahan baku produksi biofuel. "Namun, ketika banyak petani berminat dan rela menginvestasikan modal tak sedikit dalam program ini, pemerintah meninggalkan begitu saja," katanya. Selain ditengarai banyak salah sasaran, dalam arti dinikmati pula oleh mereka yang tidak miskin, Pemerintah juga tidak segera membayar tagihan Jamkesmas (sebelumnya Askeskin) pihak rumah sakit. Akibatnya, beberapa rumah sakit tidak dapat membiayai pengadaan obat-obatan yang diperlukannya karena kesulitan keuangan.(*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008