Jakarta (ANTARA) - Dalam Science and Technology Index (Sinta), situs database sistem infromasi riset Kementerian Riset dan Teknologi yang menunjukkan performa peneliti-peneliti, institusi dan jurnal di Indonesia, mencatat nama Alue Dohong sebagai dosen senior ilmu lingkungan di Universitas Palangkaraya.
Laki-laki kelahiran Tubang Kalang, Kalimantan Tengah, 53 tahun lalu itu yang pada Jumat siang dilantik Presiden Joko Widodo menjadi Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Kabinet Indonesia Maju itu memiliki lima publikasi ilmiah yang tercatat dalam Scopus.
Semua isu yang dibahas dalam publikasinya tersebut tidak jauh dari lahan gambut, hutan dan perubahan iklim. Salah satu publikasi ilmiahnya tahun 2013 membahas tentang bagaimana menghasilkan lebih banyak pangan, lebih banyak hutan, sedikit emisi dan mampu menciptakan mata pencaharian masyarakat yang lebih baik.
Drs. Alue Dohong, MSc, PhD yang dikenal humoris dan mudah bergaul itu meraih gelar sarjana ekonomi dari Universitas Palangkaraya, lalu master of science dari Nottingham University, dan gelar Doktor dari University of Queensland dengan thesis Ekosistem Gambut Tropis.
"Pak Alue Dohong, kami percaya jadi Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Beliau putra Dayak. S2 di Inggris, S3 di Australia, dan beliau memang sudah berkecimpung lama di BRG. Jadi akan membantu Bu Siti Nurbaya, di dalam pelestarian hutan dan alam kita," kata Presiden Joko Widodo.
Baca juga: DPRD Kalteng bangga perwakilan Dayak ada di Kabinet Jokowi
Suami dari Lilia Sandy itu saat menunjukkan sejumlah publikasi ilmiahnya di media sosial di mana dirinya menjadi principal author maupun co-author mengatakan tahun ini mudah-mudahan dua publikasi ilmiah lagi terpublikasi. Meski demikian, melihat dari jumlah publikasinya tersebut dirinya masih menganggap tidak layak menjadi dosen.
"Apalagi disebut sebagai 'dosen'," tulis Alue di laman Facebooknya.
Hadir di Istana Kepresidenan untuk dilantik menjadi wakil menteri, ayah dari Alexander Aldo Putra ini mengaku bahagia mengingat dirinya sebagai orang Dayak pertama yang mengemban tugas dalam kabinet.
"Dalam sejarah Indonesia merdeka, ini orang Dayak pertama di kabinet. Jadi saya yakin kalau takdir jadi wakil menteri ini jadi kebahagiaan Suku Dayak di Kalimantan," kata Alue kepada awak media di Istana Kepresidenan.
Pendiri Lembaga Pengkajian, Pendidikan dan Pelatihan Lingkungan Hidup (LP3LH) di Palangkaraya itu mengaku berdiskusi masalah kehutanan dan rehabilitasi lahan dengan Presiden, selain soal rencana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur.
Pencipta pendekatan 3R
Sejak 2016 hingga Oktober 2019, Alue Dohong menjabat sebagai Deputi Operasi, Konstruksi dan Pemeliharaan Badan Restorasi Gambut. Blusukan di gambut basah hingga gambut terbakar menjadi rutinitas bersama Kepala BRG Nazir Foead.
BRG, badan yang dibentuk Presiden Jokowi untuk khusus merestorasi 2,6 juta ha lebih hutan dan lahan gambut yang terbakar dan menyebabkan asap di 2015. Sekitar 33 persen dari total area terbakar ada di gambut, dan bencana tersebut menjadi persoalan ekonomi, lingkungan, sosial yang substansial bagi Indonesia.
Bank Dunia bahkan menghitung kerugian ekonomi yang diderita Indonesia sekitar 16,1 miliar dolar AS atau Rp221 triliun selama kebakaran terjadi. Penebangan hutan dan konversi lahan gambut yang luas untuk menjadi hutan tanaman industri dan pertanian atau perkebunan serta terkait praktik penggunaan lahan dianggap sebagai pendorong utama degradasi lahan gambut di Indonesia.
Baca juga: Alue Dohong, orang Dayak pertama duduk di kabinet
Karenanya mereka harus merestorasi lahan gambut di tujuh provinsi, yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua dalam waktu lima tahun.
Badan yang berdiri berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2016 tersebut memang harus bekerja ekstra keras, mengingat begitu luasnya lahan gambut yang harus diintervensi dalam waktu yang relatif singkat. Untuk itu diperlukan langkah atau pendekatan yang pas untuk mampu membasahi dan memastikan lahan-lahan yang mirip spons tersebut tidak terbakar dan menghasilkan asap lagi.
BRG menggunakan pendekatan 3R (Rewetting, Revegetation, Revitalisation) yang disebut Alue sebagai ciptaannya. Ia menjelaskan maksud dari rewetting atau pembasahan berarti gambut yang kering dengan melakukan penyekatan kanal-kanal yang ada, revegetation atau revegetasi lahan gambut yang terfragmentasi dan gundul, serta revitalisation local livelihoods atau revitalisasi mata pencaharian masyarakat lokal di lahan gambut.
Pembasahan gambut, menurut dia, bertujuan meningkatkan properti hidrologi dari gambut yang dikeringkan melalui infrastruktur pembasahan gambut, seperti sekat kanal, pengisian ulang kanal, sumur bor dan teknologi manajemen air lainnya. Sedangkan revegetasi gambut bertujuan mengembalikan tutupan vegetasi dan meningkatkan kualitas habitat ekosistem gambut.
Sementara untuk revitalisasi mata pencaharian masyarakat lokal yang hidup di lahan gambut bertujuan menciptakan berbagai alternatif mata pencaharian untuk komunitas lokal sehingga mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka. Lalu meningkatkan partisipasi masyarakat lokal untuk mengoperasikan dan merawat infrastruktur pembasahan yang telah dibangun di lokasi mereka.
Pengangkatan Alue Dohong menjadi Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mendampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya tentu disambut gembira jajaran Badan Restorasi Gambut. "Alhamdulillah. Iya kami bangga," kata Deputi Edukasi, Sosialisasi, Paritispasi dan Kemitraan Myrna Safitri saat dikonfirmasi pagi tadi.
Sementara Kepala Desk Politik Wahana Lingkungan Hidup Khalisah Kalid menyambut dingin pengangkatan Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut. "Apakah dapat membantu menteri untuk menjawab pekerjaan rumah yang masih setumpuk, atas janji-janji yang belum bisa dipenuhi?"
Karena, menurut dia, tantangan besar di lingkungan hidup selama lima tahun ke depan justru apakah bisa keluar dari tekanan oligarki yang lebih besar. Selain itu, apakah bisa wakil menteri mengatasi persoalan watak sektoral yang dapat menghambat penyelesaian isu-isu lingkungan hidup.
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019