Jakarta (ANTARA News) - Sewindu sejak Kantor Berita Antara berdiri pada 13 Desember 1937, Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Perjuangan yang disertai penderitaan dan pengorbanan selama sewindu bukanlah proses singkat apalagi dibandingkan dengan pergulatan para pejuang mengusir bangsa kolonial Portugis sejak tahun 1512 dilanjutkan selama masa 350 tahun penjajahan Belanda sejak 1602.
Kelahiran Antara tidak bisa dilepaskan dari atmosfer perjuangan para aktivis pergerakan kemerdekaan pada masa itu yang berupaya dengan berbagai cara mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka.
Salah satu cara yang mereka tempuh adalah berupaya punya koran dan kantor berita sehingga cita-cita Indonesia merdeka dapat disebarluaskan. Para aktivis perjuangan sepenuhnya sadar bahwa media massa adalah sarana ampuh untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Dalam elan perjuangan seperti itulah Antara didirikan oleh pemuda Adam Malik, Soemanang, Pandoe Kartawigoena, dan AM Sipahoetar.
Kelahiran Antara selain untuk menyuarakan berita-berita aktivis pergerakan kemerdekaan juga untuk menandingi kantor berita kolonial Belanda, Aneta (Algemeen Nieuws-en Telegraaf Agentschap) yang didirikan DW Berrety di Jakarta tahun 1917 dan tidak pernah memberikan tempat bagi berita-berita pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Antara bukan kantor berita pertama Indonesia. Pada November 1913, RM Soewardi Soerjaningrat dari pengasingannya di Den Haag mendirikan kantor berita "Indonesische Persbureau". Kantor berita itu tutup ketika ia kembali ke Indonesia.
Di Bandung, Bratanata membuat kantor berita "National Indonesische Correspondentie Kantoor (Nicork)" tetapi kemudian ia ubah menjadi suratkabar.
Di Jakarta, Parada Harahap membangun kantor berita "Algemeen Pers-en Nieuws Agenschap (Alpena), A. Wignjodisastro membuat "Het Indonesische Pers Agentschap (Hipa)".
Sementara di Medan, M. Yunan Nasution mendirikan kantor berita "Himalaya" dan M. Arief Lubis membuat kantor berita "Indonesische Pers Agentschap (Inpera)".
Di Maluku, Djohan Toepamahoe mendirikan kantor berita "Maluku" dan di Banjarmasin Hoesman Baboe mendirikan "Borneo Pers-en Nieuws Agentschap".
Sebagai kantor berita milik Belanda, Aneta menyuarakan kepentingan kepentingan kolonial Belanda. Perlakuan Aneta yang tidak memberi tempat bagi berita-berita pergerakan merupakan pendorong utama bagi Soemanang dan AM Sipahoetar untuk mendirikan kantor berita Antara.
Ketika itu Soemanang bekerja di surat kabar "Tjaja Timoer" yang dipimpin Parada Harahap, dan AM Sipahoetar adalah karyawan biro iklan "Arta" milik seorang Belanda.
Soemanang dan Sipahoetar bertemu di Tjaja Timoer sementara Sipahoetar berteman dengan Adam Malik yang lari dari Medan menghindari kejaran polisi Belanda akibat aktivitas politiknya di sana.
Pembentukan Antara ditetapkan dalam suatu rapat di rumah Soemanang di Jalan Saleh Kecil Nomor 2 Jakarta. Hadir dalam rapat itu Soemanang dan AM Sipahoetar, dan Armin Pane yang juga tinggal di rumah itu. Armin Pane adalah adik sastrawan Sanusi Pane.
Rapat memutuskan memberi nama "Antara" untuk kantor berita yang baru mereka bentuk. Nama tersebut diambil dari nama mingguan "Perantaraan" yang pernah didirikan Soemanang di Bogor.
Susunan pengurus saat didirikan adalah Soemanang (Pemimpin Redaksi), AM Sipahoetar (Redaktur I) namun kemudian diubah menjadi Soemanang (Pemimpin Umum), Adam Malik (Wakil Pemimpin Umum), AM Sipahoetar (Pemimpin Redaksi), dan Pandoe Kartawigoena (Wakil Pemimpin Redaksi).
Kantornya menumpang di kantor ekspedisi Pengharapan yang juga tempat tinggal Adam Malik di Jalan Buitentijgerstraat Nomor 30 (sekarang Jalan Pinangsia) Jakarta.
Soemanang tidak lama memimpin Antara karena pada 1938 ia menggantikan Mr. Amir Sjarifuddin sebagai Kepala Sekolah "Pergoeroean Rakjat" di Salemba. Posisinya digantikan AM Sipahoetar namun ia juga hanya menjabat satu tahun sebab tahun 1939 Sipahoetar kembali ke Medan karena sakit.
Penggantinya adalah Alwi Soetan Osman, pegawai Departemen Kehakiman (Departement van Justitie) tetapi juga hanya sejenak memegang jabatan Pemimpin Umum. Pengganti Alwi Soetan Osman adalah Pandoe Kartawigoena, dibantu Adam Malik dan AM Sipahoetar yang belakangan kembali ke Jakarta setelah sakitnya sembuh.
Pada saat terbit, Antara menyampaikan pengumuman kepada khalayak sebagai berikut:
Setelah satoe setengah boelan dioesahakan permoelaan dari persbureau Indonesia meroepakan correspondentieubureau dan kenjataan bahwa beberapa soerat kabar menjokong maksoed itoe, maka moelai hari ini ditetapkan berdirinya persbureau itoe dengan nama "Antara". Alamat Buitentijgerstraat 30 Batavia, Telefoon Bt 1725.
Persbureau ini adalah oesaha jang akan diserahkan djadi kepoenjaan pers Indonesia seloeroehnja. Jang bekerja oentoek sementara, sebagai pemimpin redaksi: Soemanang; Redaktur I: A.M. Sipahoetar dibantoe oleh beberapa medewerkers (pembantu, Red).
Toean Sanusi Pane diminta dan soedah menerima menjadi gecommiteerde (jang dikuasakan, Red) pers Indonesia boeat sementara dalam kwaliteitnya sebagai pemimpin redaksi "Kebagoesan".
Toean R. Prawotosoemodilogo, direktur-pemimpin redaksi "Perasaan Kita" sangat setujoe berdirinya persbureau ini. Kalau diadakan permoesjawaratan antara direktur dan pemimpin redaksi pers Indonesia lainnja boeat membentoek sesoeatoe jang berkenaan dengan pemilikan pers Indonesia seloeroehnja atas persbureau tersebut, beliau akan soeka toeroet moesjawarah. Terhadap perhimpoenan bangsa Indonesia.
Diharap soepaja perhimpoenan-perhimpoenan bangsa Indonesia dari segala lapisan soeka berhoeboengan dengan persbiro terseboet, jang mengenai penjiaran kedjadian, verslagen dan lain-lain, oentoek kepentingan kedoea belah pihak.
Djakarta, 13 December 1937
Salam kebangsaan
Persbureau "Antara"
Djakarta.
Kelahiran Antara mendapat sambutan positif dari berbagai suratkabar bumiputera. Koran "Perasaan Kita" pada 14 Desember dan "Kebagoesan" pada 15 Desember 1937 memuat berita berdirinya Antara sedangkan koran "Pewarta Deli" di Medan memuatnya pada 22 Desember 1937.
Berita-berita Antara juga mulai dikutip. Koran Kebangoesan mengutip berita Antara pada 16 Desember 1937, Harian Perasaan Kita yang terbit di Jakarta, pada 18 Desember 1937 memuat berita dari koresponden Antara Yogyakarta. Koran Tjaja Timoer, yang semula menentang pendirian Antara, mengutip berita pada 21 Desember 1937.
Bertahan
Pada sisi lain, pihak kolonial Belanda menanggapi berdirinya Antara dengan memberi subsidi kepada kantor berita Aneta agar kantor berita itu dapat menjual berita kepada koran-koran dengan harga murah.
Aneta juga menguasai semua berita-berita luar negeri sedangkan Antara mendapat berita-berita luar negeri dari kiriman para pelajar Indonesia di Belanda, Filipina, Jepang, Mesir dan AS.
Antara dapat bertahan bahkan pindah ke kantor yang lebih luas di Jalan Tanah Abang Nomor 90 Jakarta.
Antara dengan cepat ikut menanam benih-benih semangat mencapai cita-cita Indonesia merdeka melalui pemberitaannya bersama pers perjuangan lainnya meskipun hidup di tengah ancaman beredel berdasarkan "Persbreidel Ordonantie" yang diberlakukan pemerintah kolonial sejak September 1931.
Sejak 1931 hingga 1936 pemerintah kolonial memberangus 27 suratkabar milik bumi putera. Tahun 1936 empat koran berbahasa Cina diberangus dan tahun 1937 dua suratkabar Cina diberedel (Subagijo, 1977: 38).
Kebijakan yang ketat, keras dan otoriter tersebut tidak lepas dari latar belakang politik Gubernur Jenderal Jonkheer De Jonge yang mulai berkuasa September 1931 menggantikan De Graaf. Gubernur Jenderal De Jonge merupakan konservatif sejati sehingga tidak mentolerir adanya agitator politik bangsa Indonesia. De Jonge tidak mengakui cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka sebagaimana ditegaskannya pada konperensi para bupati tahun 1932.
Pada era pendudukan Jepang tahun 1942, Kantor Berita Jepang "Domei" yang berpusat di Tokyo beroperasi di Indonesia sedangkan kantor berita Aneta milik Belanda sudah tidak beroperasi.
Pada 29 Mei 1942 Jepang mengganti nama Antara menjadi "Yashima" dan menempati gedung bekas Aneta di Jalan Pos Utara (sekarang Jalan Antara) Nomor 5 Jakarta.
Hanya sekitar tiga bulan nama Yashima (berarti Semesta) bertahan dan setelah itu menjadi Domei Bagian Indonesia, dipimpin Adam Malik. Kantor berita Domei ada di Jawa dan Sumatera. Kantor besar untuk wilayah Jawa berkedudukan di Jakarta sedang kantor besar Sumatera berkedudukan di Bukittinggi.
Masing-masing kantor besar menerima siarannya langsung dari kantor pusat di Tokyo untuk kemudian diteruskan ke wilayah-wilayah operasinya. Selain itu kedua kantor besar saling bertukar berita, namun kedua kantor besar tidak punya hubungan komando, artinya satu sama lain berdiri sendiri. Domei juga mendirikan kantor cabang di kota-kota besar Jawa di Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Bandung.
Adanya kantor-kantor cabang Domei di berbagai daerah merupakan keuntungan bagi Antara sebab gedung-gedung Domei tersebut menjadi milik Antara ketika Jepang meninggalkan Indonesia. Dari segi penghasilan, karyawan Domei eks Antara juga lebih baik sebab keuangan kantor berita Jepang itu memang lebih memadai bila dibanding Antara di masa kolonial Belanda.
Meskipun bekerja di bawah sensor dan tekanan pemerintah Jepang, para wartawan eks Antara di Domei dengan semangat nasionalisme memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, tetap berusaha menyiarkan berita-berita pergerakan meski dengan risiko besar.
"Peran Antara di era perjuangan dulu sangat besar dalam mewartakan perjuangan bangsa ini sehingga tidak boleh dilupakan," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menghadiri Peringatan 69 Tahun Antara pada 26 Desember 2006. (*)
Oleh Oleh Budi Setiawanto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008