Pilot melaksanakan prosedur non-normal untuk IAS Disagree, namun tidak mengenali kondisi runaway stabilizer

Jakarta (ANTARA) - Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) membeberkan kronologi kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 berdasarkan hasil investigasi akhir selama setahun belakangan.

Kepala Sub Komite Kecelakaan Penerbangan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Nurcahyo dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat, menjelaskan pada 29 Oktober 2018, pukul 06.32 WIB, pesawat Boeing 737-8 (MAX) registrasi PK-LQP yang dioperasikan oleh Lion Air dengan nomor penerbangan LNI 610 dalam penerbangan dari Bandara Soekarno Hatta Jakarta menuju Depati Amir Pangkal Pinang.

Pesawat hilang dari layar radar pengatur lalu lintas udara setelah pilot melaporkan adanya beberapa gangguan pada kendali pesawat; indikator ketinggian; dan indikator kecepatan. Pesawat mengalami kecelakaan di Tanjung Karawang, Jawa Barat dan seluruh penumpang serta awak pesawat tidak ada yang selamat.

Baca juga: KNKT temukan sembilan faktor berkontribusi kecelakaan Lion JT 610

“Kerusakan indikator kecepatan dan ketinggian di pesawat PK-LQP terjadi pertama kali pada tanggal 26 Oktober 2018 dalam penerbangan dari Tianjin, China ke Manado, Indonesia,” ujarnya.

Setelah beberapa kali perbaikan pada kerusakan yang berulang, pada tanggal 28 Oktober 2018 Angle of Attack (AOA) sensor kiri diganti di Denpasar, Bali.

AOA sensor kiri yang dipasang mengalami deviasi sebesar 21 0 yang tidak terdeteksi pada saat diuji setelah dipasang.

“Deviasi ini mengakibatkan perbedaan penunjukan ketinggian dan kecepatan antara instrument kiri dan kanan di cockpit, juga mengaktifkan stick shaker dan Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) pada penerbangan dari Denpasar ke Jakarta,” katanya.

Nurcahyo mengatakan pilot berhasil menghentikan aktifnya MCAS dengan memindahkan Stab Trim switch ke posisi Cut Out (mati/ tidak aktif).

Setelah mendarat di Jakarta, pilot melaporkan kerusakan yang terjadi namun tidak melaporkan stick shaker (guncangan kendali pilot) dan pemindahan Stab Trim ke posisi Cut Out.

“Lampu peringatan AOA Disagree tidak tersedia sehingga pilot tidak melaporkannya. Masalah yang dilaporkan ini hanya dapat diperbaiki menggunakan prosedur perbaikan AOA Disagree,” katanya.

Kemudian, pada 29 Oktober 2018 pesawat dioperasikan dari Jakarta ke Pangkal Pinang.

Kotak hitam Flight Data Recorder (FDR) merekam kerusakan yang sama terjadi pada penerbangan ini.

“Pilot melaksanakan prosedur non-normal untuk IAS Disagree, namun tidak mengenali kondisi runaway stabilizer,” kata Nurchayo.

Beberapa peringatan, berulangnya aktivasi MCAS dan padatnya komunikasi dengan ATC berkontribusi pada kesulitan pilot untuk mengendalikan pesawat.

MCAS adalah fitur yang baru ada di pesawat Boeing 737-8 (MAX) untuk memperbaiki karakteristik angguk (pergerakan pada bidang vertikal) pesawat pada kondisi flap up, manual flight (tanpa auto pilot) dan AOA tinggi.

Nurcahyo menjelaskan proses investigasi menemukan bahwa desain dan sertifikasi fitur ini tidak memadai, juga pelatihan dan buku panduan untuk pilot tidak memuat informasi terkait MCAS.

Pada 10 Maret 2019, kecelakaan serupa terjadi di Ethiopia melibatkan pesawat Boeing 737-8 (MAX) yang mengalami kerusakan AOA sensor.

“Tindakan perbaikan telah dilakukan oleh pihak-pihak terkait. Namun demikian KNKT memandang masih ada isu keselamatan yang harus diperbaiki. KNKT menerbitkan rekomendasi kepada Lion Air, Batam Aero Technic, Airnav Indonesia, Boeing Company, Xtra Aerospace, Indonesia DGCA, and Federal Aviation Administration (FAA),” katanya.

Baca juga: Dampak 737 MAX, Boeing catat kerugian 3 miliar dolar di kuartal kedua
Baca juga: Boeing 737 MAX tak mungkin mulai kembali angkut penumpang hingga 2020

Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019