Jakarta (ANTARA) - Meski sampai 17 Oktober 2019, PAD DKI Jakarta baru terealisasi Rp31,5 triliun atau 70,86 persen, pejabat Pemprov tetap optimistis bisa memenuhi target pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) senilai Rp44,5 triliun.

"Jangan bilang ini berhasil atau tidak tercapai. Masih ada waktu dua bulan lebih," ujar Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah di Balai Kota Jakarta, Kamis (24/10).

Saefullah, merasa optimistis target Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan tercapai dalam waktu yang tersisa, mengacu dari pengalaman sebelumnya yang terlihat ada peningkatan pada akhir tahun.

"Memang itu yang harus dicapai, bukan tambahan, memang kami ada pengalaman Desember terakhir dapat Rp5 triliun. Pernah Desember dari semua jenis pajak meningkat. Doakan saja semoga Dinas Pajak betul-betul," kata Saefullah.

Catatan Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) DKI, hingga 17 Oktober 2019, pendapatan dari sektor pajak baru mencapai Rp31,56 triliun dari target Rp44,54 triliun.

Pemprov DKI butuh Rp12,97 triliun agar target pendapatan dari sektor pajak tercapai. Namun, data terakhir yang dimiliki Saefullah, target pendapatan dari sektor pajak yang harus dikejar tinggal Rp9 triliun.

Kurangnya pendapatan pajak ini menimbulkan ancaman defisit anggaran lebih besar pada Pemprov DKI Jakarta jika di akhir tahun tidak tercapai.

Pasalnya, kata Saefullah juga, anggaran DKI hampir defisit karena pendapatan berupa dana bagi hasil dari pemerintah pusat sebesar Rp6,39 triliun belum disetorkan ke Pemprov DKI.

"Kami kurang setor dari dana bagi hasil Rp6,3 triliun. Itu menonjol," ucap Saefullah.

Dana bagi hasil sendiri salah satunya diberikan berdasarkan penerimaan pajak di daerah yang disetorkan ke pemerintah pusat. Sementara pemerintah pusat memberikan dana bagi hasil yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) kepada pemerintah daerah.

Sementara itu, Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) DKI Jakarta Faisal Syafruddin mengatakan penurunan pajak tersebut juga karena ada perlambatan ekonomi global yang berpengaruh pada Indonesia dan Jakarta, salah satunya daya beli.

"Karena perlambatan ekonomi, dampaknya tidak ada orang transaksi dan cenderung orang gak mau investasi, contohnya perumahan dan pembelian tanah itu turun semua, jadi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) juga turun padahal kuartal ini harusnya tercapai karena tidak ada transaksi, kalau tidak ada transaksi, duitnya tidak ada, pajaknya juga tidak terbayar," ucap Faisal.

Pun demikian, Faisal mengatakan pihaknya akan menggenjot juga berbagai pos pendapatan pajak lainnya selain BPHTB untuk menutupi target pencapaian pajak seperti dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ( BBNKB), pajak restoran, pajak reklame dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

"Yang paling massif untuk mencapai ini adalah PKB, BBNKB, PBB dan restoran. Kami pasang online tingkat kepatuhan wajib pajak. Kami berusaha, kalau pajak lain sudah masuk," ucap dia.

Adapun untuk pajak BPHTB, Faisal mengatakan pihaknya merubah pola dari asalnya menunggu pembayaran, jadi "menjemput bola" sengan melibatkan Dinas Cipta Karya.

"Misalnya, apartemen yang pertelaannya belum selesai. Kami kerjasama dengan Cipta Karya supaya dipercepat, begitu ditela, dia akan bayar BPHTB. Potensinya lumayan, Rl2,4 triliun. Untuk BPHTB. Kalau itu masuk bisa menutupi pajak kita. Makanya, ini yang perlu kami kejar," ucap Faisal menambahkan.
Baca juga: PAD DKI Jakarta yang terealisasi sebesar Rp43,33 triliun
Baca juga: Capaian PAD DKI tahun 2019 dari pariwisata menunjukan tren positif
Baca juga: PD Pasar Jaya raup pendapatan parkir Rp10,7 miliar

Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019