Makassar (ANTARA News) - Wartawan akan dianggap kehilangan hak perlindungan sebagai warga sipil ketika mereka bergabung dalam kelompok militer saat melakukan peliputan di daerah konflik. "Wartawan tidak akan dianggap sebagai bagian dari warga sipil ketika yang bersangkutan bergabung atau bersentuhan dengan peralatan militer, sehingga tidak akan memperoleh perlindungan berdasarkan aturan internasional," kata Communicatioan Manager International Committee of The Red Cross (ICRC), Layla Berlemont Stewi di Makassar, Kamis. Dalam lokakarya Hukum Humaniter International (HHI), ICRC, Mandat dan Kebijakannya`, itu, Layla mengatakan, jurnalis merupakan profesi yang penuh risiko tinggi saat berada di wilayah konflik bersenjata. Mereka adalah orang-orang yang seharusnya dilindungi karena menjadi bagian dari warga sipil sepanjang jurnalis itu tidak bersentuhan atau berada dalam kelompok militer. Apabila jurnalis yang sedang melakukan peliputan di wilayah konflik tidak memiliki keterkaitan dengan hal-hal yang sifatnya militer, mereka dikategorikan sebagai warga sipil dan berhak memperoleh perlindungan. Kata Layla, ICRC akan melindungi jurnalis ketika yang bersangkutan berada dalam bahaya atau menjadi tawanan perang. Jurnalis dapat memanfaatkan layanan `hotline` yang dipersiapkan ICRC ketika berada dalam kondisi darurat. "Kami akan berupaya menghubungkan wartawan itu dengan keluarganya dan tempat media dia bekerja, serta melakukan negosiasi dengan pihak tertentu agar jurnalis ini dapat dikembalikan ke negara asalnya," katanya. Ia tidak memungkiri ada beberapa wartawan yang memilih berada dalam lingkungan militer, atau berlindung di belakang barisan militer saat meliput di wilayah konflik dengan alasan untuk mendapatkan rasa aman. Padahal, menurut dia, cara seperti itu justru menyulitkan wartawan yang bersangkutan untuk mendapatkan pertolongan dari ICRC.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008