"Harus tetap terukur jangan 'gebyah uyah' (menyamaratakan). Artinya jangan sembarangan untuk ini radikal, ini bukan radikal," kata Haedar saat ditemui di kediamannya di Kasihan, Bantul, Rabu.
Menurut Haedar, dalam konteks apapun baik agama maupun dalam konteks umum perlu ada pemahaman yang komprehensif agar tidak gebyah uyah dalam melakukan penanganan, karena bukan hanya agama, bahkan perilaku berbangsa, perilaku sosial juga memiliki bagian-bagian yang berpotensi ekstrem dan radikal.
Oleh sebab itu, ia berharap radikalisme tidak dilekatkan pada agama, apalagi tertuju pada agama tertentu.
Baca juga: Fachrul Razi, menteri agama dari militer pertama era reformasi
"Beragama, bernegara, berideologi, bersosial itu juga ada kecenderungan ekstrem dan radikal yang mengarah pada kekerasan. Kita banyak contoh kejadian-kejadian di tanah air kita ini bahwa korban dari tindakan-tindakan yang ekstrem bukan hanya karena agama. Oleh karena itu harus terukur," kata dia.
Agama dan institusi kegamaan, kata Haedar, harus menjadi kekuatan yang mencerdaskan, mendamaikan, memajukan, serta menyatukan. Bahkan berperan membela nilai-nilai rohani dan keadaban yang baik.
"Saya pikir semua agama kan begitu komitmennya," kata dia.
Baca juga: Menag diminta gunakan pendekatan dialog edukatif tahan radikalisme
Selain itu, ia juga menitipkan pesan agar Menag dapat memosisikan diri sebagai menteri untuk semua golongan. Ia mencontohkan, meski pernah memiliki latar belakang militer, Menag harus bediri untuk semua rakyat Indonesia, bukan hanya untuk golongan militer.
"Nanti kalau hanya mengurus golongannya, mengurus kepentingannya nanti malah timbul ketidakadilan," kata dia.
Baca juga: Fachrul Razi punya strategi berantas radikalisme
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019