Surabaya (ANTARA) - Peneliti Surabaya Survey Center (SSC), Surokim Abdussalam menilai Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini memberikan contoh sikap keteladanan tidak ambisi dengan menolak masuk kabinet Presiden Joko Widodo menjelang Pilkada Surabaya 2020.
"Dua kali menolak jadi menteri, Risma betul-betul pemimpin langka, mencintai warga Surabaya dengan segenap jiwanya," kata Surokim di Surabaya, Rabu.
Menurut dia, sosok Risma cukup unik dan langka karena di saat semua orang berharap bisa menjadi menteri, tapi Risma justru menolak dengan alasan ingin menuntaskan jabatannya hingga awal 2021.
"Saya kehilangan kata-kata terhadap Bu Risma. Kok ada orang jenis ini di era saat ini. Luar biasa, semoga Bu Risma selesai menuntaskan jabatan wali kota bisa mendapatkan momentum politik lagi," ujar Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Universitas Trunojoyo Madura (UTM) ini.
Menurut dia, matematika politik Wali Kota Surabaya mungkin tidak sama rumusnya dengan apa yang dipikirkan kebanyakan orang. Makanya, Risma sempat memunculkan lima kriteria calon Wali Kota Surabaya 2020 yang didukungnya, salah satunya tidak ambisi.
Diketahui lima kriteria cawali Surabaya veris Risma, yakni tidak banyak bicara tapi banyak bekerja, banyak mendengarkan untuk prioritas masalah warga, berani hadapi tantangan, banyak akal tidak tergantung banyaknya uang dan tidak punya ambisi jadi wali kota.
"Ya saya jadi paham sekarang kenapa Bu Risma mengeluarkan kriteria itu," katanya.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sebelumnya menyatakan menolak menjadi menteri karena ingin menyelesaikan masa jabatannya sebagai wali kota hingga awal 2021.
Menurut Risma, dirinya tidak ingin mengingkari amanah yang sudah diberikan warga Surabaya ke pundaknya ketika ia dipilih sebagai wali kota.
"Saya harus menjaga kota ini sampai terakhir (masa jabatan). Saya punya prinsip sendiri, boleh kan?" katanya.
Ia mengakui masa jabatannya tinggal sebentar lagi, kira-kira sekitar satu tahun dua bulan. Secara pribadi dirinya merugi karena menolak tawaran kenaikan jabatan menjadi menteri.
Jika dilihat perbandingan, ia menjadi wali kota tinggal sebentar, sedangkan jika diangkat menteri, masa jabatannya masih panjang, lima tahun. Tetapi Risma tetap bulat dengan keputusannya di posisi Wali Kota Surabaya.
"Apalagi kalau saya mau daftar apa lagi (yang lain), saya harus nunggu lama kan. Sementara saya selesai (sebagai wali kota) satu tahun dua bulan lagi. Tapi saya tidak ingin menyesal," katanya.
Mantan Kepala Bappeko Surabaya ini menyatakan baru akan memutuskan setelah ada pemilihan wali kota baru. Berarti saat itu ia sudah tidak menjabat wali kota.
"Kalau ada pilihan lagi, kan rakyat tidak memilih saya (lagi). Saya tidak ada tanggung jawab lagi. Kalau sekarang saya tinggalkan, rakyat kan awalnya memilih saya. Kalau (saya tinggalkan menjadi menteri) itu, saya dosa," katanya.
Di sisi lain, penolakan itu juga dilandasi bahwa Risma mengaku lebih nyaman menjadi wali kota dengan alasan bisa menangani persoalan warga secara lintas sektoral, seperti halnya penanganan persoalan anak.
Ia bisa menangani secara total, mulai pendidikan, tempat tinggal, kesehatan dan sebagainya. Sedangkan kalau menjadi menteri, ia hanya bisa memberi bantuan secara sektoral. "Kenapa saya suka jadi wali kota, kalau menolong orang bisa utuh."
Apakah bersedia menjadi menteri jika ada reshuffle kabinet? Risma tidak mau berandai-andai. "Saya tidak mau ngomong itu. Nanti dilihat saja. Tetapi kita tidak boleh mengatakan itu (ada reshuffle). Itu dosa," katanya.
Pewarta: Abdul Hakim
Editor: Edy Supriyadi
Copyright © ANTARA 2019