Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah menyambut baik sikap sejumlah partai politik yang memutuskan untuk menetapkan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak karena sikap dan usulan pemerintah pun sejak semula seperti itu. "Tentu ini lebih adil karena memberi kesempatan yang sama dan betul-betul mewakili suara konstituen di masing-masing daerah. Benar-benar mewujudkan siapa yang mewakili dan merepresentasikan. Itu langkah maju dari perkembangan demokrasi di negeri kita," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam jumpa pers di Istana Merdeka Jakarta, Rabu. Menurut Presiden, sistem proporsional terbuka adalah tanpa nomor urut atau yang sering dikenal dengan suara terbanyak tanpa nomor urut. Dikatakannya, pada tahun lalu di hadapan Kaukus Parlemen Perempuan, dirinya telah menyampaikan bahwa secara pribadi dan pemerintah betul-betul ingin menuju sistem proporsional terbuka. Dengan demikian, katanya, tidak perlu lagi ada dikotomi antara laki-laki dan perempuan, serta antara tua dan muda. "Semua dapat kesempatan, siapa yang paling mewakili rakyat," katanya. Bagi partai politik, lanjut Presiden, hal itu pun berdampak baik karena siapa pun yang ingin menjadi anggota DPR atau DPRD maka harus menyampaikan pandangan dan komitmennya pada rakyat sehingga mereka harus berjuang untuk meyakinkan rakyat bahwa yang dipilih benar-benar berjuang untuk rakyat, bukan untuk parpol. "Itu sikap pemerintah sebenarnya. Tetapi karena dinamika politik (dalam pembahasan UU Pemilu.red), lalu kandas. Sekarang saya sambut baik kalau parpol ternyata menyambut sistem itu, yang baik untuk sistem kita," katanya. Ketika ditanya tentang sikap Partai Demokrat, Yudhoyono yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu mengatakan, Partai Demokrat justru sejak awal sudah memperjuangkan hal itu ketika pengambilan keputusan di DPR. "Meskipun bukan ketua umum, saya senang sudah mendapat laporan apa sikap yang diambil parpol-parpol itu dan siap dilakukan," kata Yudhoyono. Sebelumnya, Rapat Pleno Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar di Jakarta, Senin (11/8) malam, memutuskan penerapan suara terbanyak dalam penetapan calon anggota legislatif terpilih. Keputusan Rapat Pleno itu sendiri dianggap banyak pihak sebagai sebuah kejutan. Karena, Partai Golkar termasuk yang menolak penerapan suara terbanyak ketika berlangsungnya pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Pemilu yang lalu. Ketika itu, Fraksi Partai Golkar (FPG) `ngotot` menggunakan mekanisme nomor urut, dengan alasan harus memberikan kewenangan kepada partai politik (Parpol) untuk menentukannya. Pasal 214 UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPRD dan DPD antara lain mengatur bahwa calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30 persen dari BPP (Bilangan Pembagi Pemilih). Jika jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30 persen dari BPP. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008