Brisbane (ANTARA News) - Eksekusi tiga pelaku insiden Bom Bali 2002 yang segera dilakukan otoritas hukum Indonesia membuktikan masih dipakainya hukuman mati di kawasan Asia Pasifik, namun hasil penelitian Prof David Johnson menunjukkan penggunaan jenis hukuman ini cenderung menurun di banyak negara di kawasan itu. Kesimpulan penting hasil kajian akademisi Universitas Hawaii yang menjadi peneliti tamu di Dewan Riset Pusat Keunggulan Bidang Kepengawasan dan Keamanan Universitas Nasional Australia (ANU) itu diterima ANTARA dari Staf Humas ANU, Martyn Pearce, di Brisbane, Rabu. Menurut Johnson, penggunaan hukuman mati cenderung menurun di banyak negara di kawasan Asia Pasifik dan penurunannya mungkin semakin cepat seiring dengan meningkatnya pembangunan dan demokrasi. Peneliti yang sedang melakukan studi tentang pemakaian hukuman mati di kawasan Asia Pasifik untuk bukunya bertajuk "The Next Frontier: National Development, Political Change and the Death Penalty in Asia" ini mengatakan, kecenderungan menurunnya pemakaian hukuman mati itu juga terjadi di negara-negara otoriter. "Adalah pemerintah otoriter yang memisahkan bangsa-bangsa dengan (kasus) eksekusi tinggi seperti China, Singapura, Vietnam, dan Korea Utara dari negara-negara lainnya di kawasan itu," katanya. Di antara negara-negara demokratis yang jumlah kasus hukuman matinya menurun secara dramatis adalah Korea Selatan dan Taiwan namun kecenderungan yang sama juga terjadi di negara-negara seperti India dan Malaysia, katanya. David Johnson tidak menyebut secara spesifik bagaimana kondisi pelaksanaan hukuman mati di Indonesia baik di era Orde Baru maupun Reformasi. Terkait dengan masa depan hukuman mati di kawasan Asia, akademisi Amerika yang kini menjadi peneliti tamu di ANU ini memandang isu terbesarnya adalah "kapan" jenis hukuman ini sirna. Dalam konteks ini, Prof.David Johnson berpendapat kemajuan dalam pembangunan dan demokrasi merupakan dua variabel yang sangat mendorong penurunan penggunaan hukuman mati. Pembangunan dan demokrasi "Ketika pembangunan dan demokrasi plural mengakar baik di Asia, penurunan (pemakaian) hukuman mati biasanya lebih cepat terwujud," katanya. Menurut dia, perkembangan isu ini di Asia dalam beberapa dasawarsa mendatang juga akan menjadi "indikator kuat" bagi arah pemakaian hukuman mati di dunia. Apa yang terjadi di Asia dalam beberapa dasawarsa mendatang itu juga akan menunjukkan apakah kampanye menentang hukuman mati akan mendapatkan momentumnya atau tidak sejak era Perang Dunia Kedua sebagai fenomena global, katanya. Pentingnya posisi Asia bagi masa depan penghapusan hukuman mati di dunia karena sekitar 60 persen penduduk dunia berada di kawasan itu sehingga lebih dari 90 persen kasus hukuman mati di dunia juga terjadi di sana dalam beberapa tahun terakhir, katanya. Penurunan kasus hukuman mati di kawasan Asia itu juga semakin menunjukkan adanya kesadaran bahwa jenis hukuman ini hanya memiliki sedikit atau bahkan sama sekali tidak berdampak positif bagi upaya mengontrol aksi kejahatan, kata Prof.David Johnson. Untuk kasus hukuman mati di Indonesia, ANTARA mencatat bahwa dalam beberapa pekan terakhir, beberapa orang terpidana mati kasus pembunuhan sadis sudah dan akan segera dieksekusi. Di antara mereka itu adalah Dukun AS alias Ahmad Suraji yang membunuh 42 orang wanita di Sumatera Utara (1984-1994), Tubagus Maulana Yusuf asal Rangkasbitung (Lebak) Banten yang membunuh delapan orang, Rio Alek Bulo, Sumiarsih dan Sugeng. Selain mereka, tiga terpidana mati kasus Bom Bali 12 Oktober 2002, yaitu Amrozi bin H. Nurhasyim, Ali Ghufron, dan Imam Samudera juga tengah menunggu datangnya hari eksekusi mereka. (*)
Copyright © ANTARA 2008