bagaimana bisa memberikan kepastian hukum dan pertanahan dan 'financial inclusion' bagi masyarakat yang tidak punya akses perbankan jadi dipercepat
Jakarta (ANTARA) - Struktur Kabinet Jilid II di bawah Pemerintahan Presiden Joko Widodo masih menyisakan sejumlah wajah lama yang dipercaya untuk mengemban tugas di kementerian yang sama dengan periode sebelumnya.
Selain Sri Mulyani yang kembali diminta menjadi Menteri Keuangan, Retno Marsudi sebagai Menteri Luar Negeri, Siti Nurbaya sebagai Menteri LHK, Basuki Hadimuljono sebagai Menteri PUPR, Budi Karya Sumadi sebagai Menteri Perhubungan, Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Menko Kemaritiman, ada juga Sofyan Djalil yang kembali diminta mengurus pertanahan sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Sofyan datang ke Istana Negara pada Selasa (22/10) dengan mengenakan kemeja putih lengan panjang, sebagaimana calon menteri lainnya pada hari itu memenuhi panggilan Kepala Negara untuk mengisi bagian dari kabinet Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf periode 2019-2024.
Pria berusia 66 tahun kelahiran Aceh Timur 23 September, itu dengan tegas menyatakan kepada awak media, bahwa dirinya diminta untuk kembali menduduki jabatan sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang sekaligus Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Kepada awak media, ia mengatakan bahwa penunjukan kembali mengisi posisi tersebut karena masih ada masalah agraria, masalah redistribusi, hingga masalah reforma agraria, yang harus diselesaikan.
"Tadi pembicaraan lebih menyentuh masalah tanah berkeadilan, reforma agraria dan bagaimana bisa memberikan kepastian hukum dan pertanahan dan 'financial inclusion' bagi masyarakat yang tidak punya akses perbankan jadi dipercepat," katanya.
Padahal sebelum kabinet pertama Jokowi berakhir, Sofyan mengaku tidak berharap jika didapuk kembali menjadi menteri, meski namanya disebut-sebut masuk dalam jajaran menteri periode selanjutnya di berbagai perpesanan singkat.
Baca juga: Sofyan Djalil masih duduki jabatan Menteri Agraria dan Tata Ruang
Ketika ditanya wartawan, ia justru berkelakar memperlihatkan foto tumpukan lemari kabinet besi dari ponselnya demi mengecoh awak media, alih-alih memberi bocoran siapa saja menteri pembantu Presiden Jokowi dalam periode berikutya.
Alumnus Universitas Indonesia yang menjadi salah satu jajaran menteri dari kalangan profesional itu, menjabat sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) sejak 27 Juli 2016.
Sebelumnya masih di bawah pemerintahahan Jokowi-JK, Sofyan ialah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada 2014--2015, kemudian mengalami reshuffle sebanyak dua kali menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Kepala Bappenas periode 2015--2016, hingga akhirnya Menteri ATR/BPN 2016--2019.
Rekam jejaknya sebagai menteri bukan saja pada era Presiden Joko Widodo. Suami Ratna Megawangi ini rupanya telah berkarir sebagai menteri di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di bawah Kabinet Indonesia Bersatu, Sofyan menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika pada 2004--2007 dan Menteri Badan Usaha Milik Negara pada 2007--2009.
Jauh sebelum malang-melintang sebagai menteri, kehidupan Sofyan sejak kecil tidaklah mudah. Berasal dari keluarga sederhana di Peureulak, Aceh Timur, Sofyan kecil mencari uang dengan menjual telur itik di daerahnya, sementara ayahnya adalah tukang cukur dan ibunya guru ngaji.
Ketika dewasa, ia pindah ke Jakarta dan bertahan hidup dengan melakoni berbagai pekerjaan, mulai dari penjaga mesjid, hingga jadi kondektur metromini. Pada saat itu juga, ia terlibat dalam aktivitas kegiatan kemasyarakatan sebagai aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII).
Baca juga: Menteri ATR sebut bank tanah picu batalnya pengesahan RUU Pertanahan
Seiring berjalannya waktu dengan kegigihannya, Sofyan akhirnya mengenyam pendidikan sarjana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia bidang studi hukum bisnis dan lulus tahun 1984.
Selanjutnya pada tahun 1989, ia berhasil meraih gelar Master bidang Public Policy di The Graduate School of Arts and Sciences, Tufts University, Medford, Massachusetts, Amerika Serikat, dan gelar Master untuk kedua kalinya di bidang studi International Economic Relation di universitas yang sama tahun 1991. Gelar doktor di bidang studi International Financial and Capital Market Law and Policy ia peroleh di kampus yang sama tempat ia meraih gelar Master, pada tahun 1993.
Usai memperoleh gelar doktornya, Sofyan memulai karier sebagai tenaga pendidik dengan menjadi dosen di Fakultas Ekonomi dan Program Magister Manajemen Universitas Indonesia pada 1993.
Pada tahun 1994, ia juga pernah mengajar di Program Magister Manajemen Universitas Sahid dan LPPM, hingga menjadi dosen di Diklat Pengembangan Kepemimpinan Profesional (DPKP) BUMN-Departemen Keuangan tahun 1997.
Hingga kini, Ayah tiga anak itu masih tercatat sebagai dosen di Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum UI sejak tahun 2000, serta mengajar di Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran sejak tahun 2001.
Melanjutkan reforma agraria
Usai dilantik oleh Presiden Joko Widodo pada Rabu (23/10), Sofyan Djalil kembali melanjutkan pekerjaan rumahnya dalam melakukan reforma agraria.
Pemerintah menargetkan 135 juta bidang tanah dapat terdaftar dan bersertifikat tahun 2025. Dari target tersebut, hingga saat ini realisasi sertifikasi tanah mencapai 67 juta bidang tanah. Artinya, masih ada 68 juta bidang tanah lagi yang harus diselesaikan oleh Kementerian ATR/BPN.
Sejak pemerintahannya bersama Jusuf Kalla, Presiden Joko Widodo tidak henti-hentinya memberikan sertifikat tanah secara gratis untuk masyarakat. Sertifikat ini berguna untuk menghindari sengketa tanah dan memberi akses permodalan bagi masyarakat.
Masalah pertanahan juga menjadi sorotan Presiden karena menyebabkan investor tidak tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Di tengah dampak perang dagang antara Amerika Serikat dan China, setidaknya ada 33 perusahaan keluar dari China untuk melakukan perpindahan lokasi pabrik.
Namun, dari jumlah tersebut, tidak satu pun yang melirik Indonesia sebagai tujuan investasi mereka. Vietnam berhasil mengambil kesempatan ini karena iklim investasi yang lebih mendukung. Hal ini membuat Presiden Jokowi pun jengkel.
Baca juga: Penduduk terus bertumbuh, reforma agraria semakin penting
Baca juga: Darmin sebut pemerintah siap redistribusi lahan
Sofyan menjelaskan salah satu alasan yang menghambat investasi asing ke dalam negeri adalah birokrasi izin pertanahan yang berbelit-belit, serta sengketa tanah akibat ulah mafia.
Sepanjang 2019, terdapat 60 kasus mafia tanah yang terdeteksi oleh Kementerian ATR dan Kepolisian RI. Dari ulah mafia tanah ini, investasi pun menjadi terhambat, salah satunya berdampak pada perusahaan Korea Selatan, PT Lotte Chemical, dengan nilai investasi senilai 4 miliar dolar AS atau setara Rp56 triliun.
Atas komitmen dan koordinasi Kementerian ATR/BPN bersama Kepolisian RI yang didukung perlengkapan teknologi yang pesat, gerak mafia tanah dapat dilacak. Pelacakan mulai dari pemalsuan dokumen, pemalsuan data hingga keberadaan praktik layanan jasa pengurusan sertipikat tanah yang ilegal bisa diketahui dengan mudah oleh satgas mafia tanah.
Upaya lain yang dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN dalam memberantas mafia tanah dengan memperkenalkan layanan pertanahan terintegrasi secara elektronik.
Layanan pertanahan yang terintegrasi secara elektronik, terdiri dari Layanan Elektronik Hak Tanggungan/HT-el (Pendaftaran Hak Tanggungan, Roya, Cessie, Subrogasi), Layanan Elektronik Informasi Pertanahan, Zona Nilai Tanah (ZNT), Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) dan Pengecekan serta Modernisasi Layanan Permohonan Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah.
Dalam mendukung layanan tersebut, sebanyak 42 Kantor Pertanahan di seluruh Indonesia ditunjuk sebagai Lokasi Pilot Project Layanan Informasi Pertanahan secara Elektronik.
Salah satu tujuan dengan adanya layanan elektronik ini adalah mencegah praktik-praktik kecurangan yang dilakukan oleh mafia tanah.
Baca juga: Staf Presiden: Transmigrasi masuk dalam pelaksanaan reforma agraria
Baca juga: Pemerintah tetap prioritaskan penyelesaian konflik agraria
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019