Jakarta (ANTARA) - Kuasa hukum mantan Direktur Utama PT Jasa Tirta II Djoko Saputro, siap menghadapi sidang pokok perkara usai gugatan praperadilan terhadap penetapan status tersangka kliennya ditolak oleh hakim Pengadilan Jakarta Selatan, Selasa.

"Kalau sudah seperti ini ya kami harus menghadapi pokok perkara," kata Hasbullah, tim kuasa hukum Djoko Saputro saat dikonfirmasi usai sidang putusan gugatan praperadilan di Pengadilan Jakarta Selatan.

Hakim tunggal Akhmad Zaini dalam sidang putusan praperadilan gugatan terhadap KPK menolak permohonan termohon terkait penetapan status Djoko Saputro sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan korupsi pengadaan pekerja jasa konsultasi pada tahun 2017.

Hasbullah mengatakan pihaknya menghormati keputusan hakim menolak gugatan praperadilan kliennya.

"Tapi kalau melihat pertimbangannya agak tidak logis yah pertimbangannya karena dianggap berita acara keterangan sebagai alat bukti padahal waktu persidangan ahli dari kami maupun ahli dari termohon KPK menyatakan berita acara keterangan itu bukan sebagai alat bukti, itu aja yang kami kecewa," kata Habusllah.

Selain itu, lanjut Hasbullah, terkait kerugian keuangan negara yang disebutkan dalam pengadilan, disampaikan oleh para ahli harus ada penetapan dari BPK.

"Tapi tadi hakim hanya mengutip berdasarkan hasil rapat PT Jasa Tirta II bukan dari BPK, itu juga yang kami juga kecewa, hakim menilai itu sebagai alat bukti," kata Hasbullah.

Hasbullah mengatakan saat ini kliennya Djoko Saputro (DS) masih ditahan hampir tiga Minggu lamanya tetapi belum di BAP (berita acara perkara). Masa penahanan tersebut telah diperpanjang sebelumnya Rabu (16/10).

"Kami belum sempat tanyakan tapi waktu pak DS menanyakan kenapa belum di BAP katanya masih menunggu proses administrasi di KPK," kata Hasbullah.

Djoko Saputro melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan praperadilan atas penetapan tersangka oleh KPK. Kuasa hukum Djoko menganggap penetapan tersangka tersebut tidak memiliki dua alat bukti yang sah.

Djoko ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan pekerja jasa konsultasi di Perum Jasa Tirta II tahun 2017. Kerugian negara terkait kasus korupsi ini Rp3,6 miliar.

Djoko Saputra selaku Direktur Utama Perum Jasa Tirta ll diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya.

Diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dalam dalam pengadaan pekerjaan jasa konsultansi di Perum Jasa Tirta ll Tahun 2017.

Pada 2016 setelah diangkat menjadi Direktur Utama Perum Jasa Tirta II Djoko Saputra diduga memerintahkan melakukan relokasi anggaran.

Revisi anggaran dilakukan dengan mengalokasikan tambahan anggaran pada pekerjaan pengembangan SDM dan strategi korporat yang pada awalnya senilai Rp2,8 miliar menjadi Rp9,55 miliar.

Yaitu, perencanaan strategis korporat dan proses bisnis senilai Rp3,82 miliar dan perencanaan komprehensif pengembangan SDM Perum Jasa Tirta ll sebagai antisipasi pengembangan usaha perusahaan senilai Rp5,73 miliar.

Perubahan tersebut diduga dilakukan tanpa adanya usulan baik dan unit lain dan tidak sesuai aturan yang berlaku.

Baca juga: Gugatan praperadilan mantan Dirut Jasa Tirta II ditolak

Baca juga: Putusan sidang praperadilan Dirut Jasa Tirta II Selasa ini

Baca juga: Mantan Dirut Jasa Tirta II Djoko Saputra ajukan praperadilan

Setelah dilakukan revisi anggaran, Djoko kemudian diduga memerintahkan pelaksanaan pengadaan kedua kegiatan tersebut dengan menunjuk Andririni sebagai pelaksana pada kedua kegiatan tersebut.

Dalam pelaksanaan kedua pekerjaan tersebut, Andririni diduga menggunakan bendera perusahaan PT Bandung Management Economic Center (BMEC) dan PT 2001 Pangripta.

Realisasi penerimaan pembayaran untuk pelaksanaan proyek sampai dengan tanggal 31 Desember 2017 untuk kedua pekerjaan tersebut adalah Rp5,5 miliar.

Dengan rincian, pekerjaan komprehensif pengembangan SDM Perum Jasa Tirta II sebagai antisipasi pengembangan usaha perusahaan sebesar Rp3,3 miliar dan perencanaan strategis korporat dan proses bisnis sebesar Rp2,2 miliar.

Diduga, nama-nama para ahli yang tercantum dalam kontrak hanya dipinjam dan dimasukkan ke dalam dokumen penawaran PT BMEC dan PT 2001 Pangripta sebagai formalitas untuk memenuhi administrasi lelang.

Diduga pelaksanaan lelang dilakukan menggunakan rekayasa dan formalitas dengan membuat penanggalan dokumen administrasi lelang tanggal mundur (backdated).

Diduga kerugian keuangan negara setidak-tidaknya Rp3,6 miliar yang merupakan dugaan keuntungan yang diterima Andririni dari kedua pekerjaan tersebut atau setidaknya lebih dari 66 persen dari pembayaran yang telah diterima.

Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019