Kupang (ANTARA) - Pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira (unwira) Kupang, Mikhael Bataona mengatakan, menyederhanakan oposisi hanya sebagai sebuah status dan posisi, dan bukannya sebuah fungsi kritis adalah keliru.
"Kita bukan mengenal "separation of power" tapi "distribution of power", di mana konsekuensinya adalah DPR kita bukan lembaga oposisi tapi bagian dari kekuasaan pemerintahan," kata Mikhael Bataona kepada Antara di Kupang, Selasa.
Dia mengemukakan hal itu, berkaitan dengan masuknya Partai Gerindra sebagai oposisi utama dalam pemerintahan Jokowi, dan bagaimana jika sebuah pemerintahan tanpa oposisi.
Baca juga: Akademisi sebut Prabowo proklamirkan kematian kaum oposan
Baca juga: Pengamat tak yakin Nasdem keluar gerbong koalisi Jokowi
Baca juga: Pengamat: Jokowi ingin negara aman dengan merangkul lawan politik
Menurut dia, oposisi dalam sistem presidensiil bukan hak milik dan identitas yang beku, dan kaku seperti di Amerika Serikat.
Artinya, mereka yang kalah pemilu akan menjadi oposisi, tetapi mereka yang kalah dan yang menang pun bisa menjadi oposisi dalam momentum politik tertentu terkait isu tertentu.
"Jadi oposisi itu sebuah tindakan yang lahir dari sikap kritis, dan bukan lahir dari fungsi kelembagaan," katanya.
Karena itu, ketika sikap kritis itu hilang di lembaga DPR, maka masih ada masyarakat kampus dan mahasiswa yang bisa melakukan oposisi.
Jika kampus mandul, maka masih ada kelompok civil society. Jika mereka juga mandul maka masih ada kelompok perempuan, katanya.
Bahkan dalam negara-negara demokratis, kaum buruh juga punya sikap kritis yang sudah teruji, termasuk kelompok perempuan dan pelajar.
Selain itu, sejak adanya demokrasi virtual melalui media daring seperti facebook dan twitter, oposisi juga bisa datang dari nitizen.
Mereka ini juga kelompok kritis yang punya kekuatan sangat besar dalam melakukan oposisi, sehingga partai-partai politik yang menyatakan diri oposisi akan dibantu oleh kelompok-kelompok kritis di negeri ini untuk melakukan fungsi check and balances.
Justru yang paling menakutkan sebagai oposisi adalah warga maya atau warga media sosial, karena kita tahu bersama bahwa dalam politik, yang hari ini oposisi juga bisa menjadi sangat jinak karena kepentingan mereka diakomodir, katanya.
Demikian juga yang sekarang kawannya Jokowi, bisa saja nanti menjadi lawan di tengah jalan, karena kepentingan mereka sudah tidak sejalan.
Karena itu, bagi dia, yang menjadi masalah saat ini bukan hilangnya kelompok oposisi, tetapi kekecewaan berjemaah dari para cebong dan kampret.
Mereka yang memahami politik hanya secara hitam putih akan sakit hati, sebab mereka berpikir bahwa musuh itu abadi dalam politik.
Padahal musuh itu hasil ciptaan imajinasi mereka dan bukan fakta dalam riil politik.
"Mereka yang bermusuhan dalam politik hanyalah para sahabat di belakang panggung, yang bertarung di depan panggung karena beda kepentingan saja," katanya.
Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019