Yogyakarta (ANTARA) - Badan Meteoroligi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Yogyakarta memperkirakan angin kencang yang terjadi di kawasan Merapi pada Minggu (20/10) malam dan Senin pagi dipicu oleh peningkatan aktivitas vulkanik pada gunung yang berada di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta itu.
"Ada dugaan peningkatan aktivitas Merapi turut andil memicu kejadian bencana lokal angin kencang ini," kata Kepala Stasiun Klimatiogi Mlati BMKG Yogyakarta Reni Kraningtyas melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Senin.
Sebelumnya, BPBD DIY dan BPBD Magelang menyebut angin kencang disertai hujan sedang-lebat terjadi di Kawasan Merapi, meliputi Kecamatan Pakis, Sawangan, Ngablak, dan Kajoran Kabupaten Magelang pada Minggu (20/10) sekitar pukul 19.30 WIB. Angin kencang itu menyebabkan atap rumah berterbangan dan pohon tumbang yang berakibat tertutupnya akses jalan.
Selanjutnya, angin kencang kembali terjadi pada Senin (21/10) pukul 10.00 WIB di Kecamatan Selo Boyolali, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang dan di lereng sebelah barat-barat daya dan tenggara Merapi berdampak debu-debu tebal beterbangan hingga menutupi pandangan mata.
Angin kencang di Kawasan Merapi yang terjadi di wilayah Kabupaten Magelang, Boyolali dan Sleman itu, menurut Etik, bersifat sangat lokal. Selain mengacu kepada konsentrasi wilayah kerusakan, kecepatan anginnya pun berbeda dengan dataran rendah lainnya di mana di lereng Merapi mencapai 80 km per jam (skala fujita) sedangkan pengukuran di Stasiun Klimatologi Mlati Yogyakarta 16 km per jam.
Peningkatan aktivitas Merapi berupa erupsi awan panas pada 14 Oktober yang diikuti guguran lava, menurut dia, telah menyebabkan peningkatan suhu permukaan di Kawasan Puncak Merapi pada 15 Oktober 2019, sehingga tekanan udara di wilayah ini menjadi cukup rendah.
Ia mengatakan dalam skala tertentu, tekanan udara permukaan berbanding terbalik dengan suhu udara permukaan.
"Suhu yang lebih panas akibat erupsi Merapi dan guguran lava yang terjadi dalam waktu yang cukup lama, akan mampu menurunkan tekanan udara permukaan sehingga udara mengalir ke wilayah dengan suhu lebih panas tersebut," kata dia.
Lebih lanjut, ia menjelaskan kejadian hujan intensitas sedang-lebat disertai angin kencang pada Minggu (20/10) malam dipicu oleh anomali aliran angin lembah atau angin yang mengalir dari lembah ke arah gunung.
"Angin itu membawa udara dingin dan lembab sehingga terjadi kondensasi dan terbentuk awan Cumulonimbus (Cb) di lereng pegunungan," kata dia.
Angin lembah, kata dia, biasanya terjadi pada siang hari saat dataran yang lebih luas dan lebih rendah telah mendapat pemanasan matahari yang cukup.
Di areal pegunungan, kata Etik, di mana secara umum puncak gunung suhu udara permukaan biasanya lebih dingin di bandingkan daerah di lereng maka sirkulasi udara lokal cenderung bergerak turun (angin gunung).
"Akan tetapi pada saat kondisi di tempat lebih panas di bagian atas, maka sirkulasi lokal itu dapat berbalik sehingga menyebabkan angin lembah (dari atas ke bawah) menjadi lebih kuat dari biasanya," kata dia.
Pada topografi tertentu, kata dia, akibat pengaruh bentuk lereng dan permukaan pegunungan, angin lembah itu dapat membentuk pusaran-pusaran angin pada area dan skala yang lebih kecil seperti yang terjadi di Kecamatan Selo Boyolali pada Senin 21 Oktober 2019 pagi.
Baca juga: Gunung Merapi Dilanda Angin Kencang
Baca juga: Angin Kencang di Kaki Merapi Timbulkan Kepanikan Warga
Baca juga: Angin Kencang Gunung Merapi Harus Diwaspadai
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019