Denpasar, (ANTARA News) - Sedikit-dikitnya 1.800 ragam seni Bali yang dimodifikasi dalam berbagai bentuk rancang bangun (disain) untuk berbagai jenis cenderamata telah dipatenkan di Amerika Serikat. Hal itu akan membawa dampak negatif terhadap kreatifitas seniman Bali di masa-masa mendatang, kata Guru besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Prof Dr I Made Bandem pada sarasehan "Seni rupa Bali ke depan: peluang dan tantangan" di Museum Neka Ubud, Minggu. Ia mengatakan, kreatifitas seniman Bali dalam menghasilkan karya seni bisa saja mirip dengan karya yang telah dipatenkan itu, padahal itu murni hasil karya seniman. "Tuduhan penjiplakan terhadap karya seni Bali yang demikian itu sangat memungkinkan, mengingat sudah ratusan ragam seni Bali yang telah dipatenkan di luar negeri," tutur Bandem yang sempat mengajar di sejumlah perguruan tinggi seni di AS. Oleh sebab itu pemerintah Propinsi Bali dinilai sudah sangat mendesak untuk membentuk lembaga hak cipta, guna membantu para seniman, khususnya perajin dalam mengembangkan usaha perak yang sarat dengan disain-disain motif Bali. Lembaga hak cipta tersebut dinilai sangat penting, mengingat hak kekayaan intelektual (HKI) telah diwacanakan sejak tahun 1980. "I Made Mangku Pastika, Gubernur Bali terpilih yang akan mengendalikan Bali lima tahun ke depan (2008-2013) diharapkan dapat merintis terbentuknya lembaga hak cipta, guna membantu seniman dalam mengembangkan kreatifitas seni serta melindungi karya seninya," ujar Bandem dalam acara yang dihadiri Gubernur Bali terpilih I Made Mangku Pastika. Sementara Prof Dr I Wayan Dibia, MA yang juga gurubesar ISI Denpasar mengatakan, mempertahankan dan melindungi warisan seni budaya Bali sangat diperlukan HKI, termasuk Hak Cipta di kalangan seniman baik seni lukis, patung maupun pertunjukkan. Upaya tersebut perlu diimbangi dengan kesadaran dan pemahaman masyarakat Bali tentang HKI dan hak cipta yang selama ini masih rendah. Untuk itu perlunya sosialisasi HKI dan hak Cipta secara berencana, berkesinambungan, dan sistematis ke masyarakat, sekaligus menumbuhkan kesadaran akan HKI seperti di negara-negara maju. Selain itu diperlukan penanaman, pembenahan sikap mental serta hak moral bagi masyarakat Bali untuk dapat melakukan aktivitas seni budaya. Dibia mengingatkan, upaya itu dilakukan secara jujur, terbuka dan saling menghargai dalam membangun kehidupan seni dan budaya Bali yang lebih sehat, bebas dari upaya-upaya pemalsuan serta penyalahgunaan terhadap nilai-nilai seni dan budaya yang ada. Hal lain yang tidak kalah penting memperhatikan hak-hak individu dan kolektif dalam kontek lokal, nasional, dan global. Pembudayaan HKI dan hak cipta di kalangan masyarakat Bali hendaknya dapat dilakukan tanpa harus merusak tradisi berkesenian yang selama ini telah mengakar kuat di dalam tradisi budaya Hindu, ujar Wayan Dibia. Sarasehan sehari tersebut digelar Jurusan Seni Rupa Murni Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar bekerjasama dengan Museum Neka Ubud, Gianyar. Kegiatan tersebut menampilkan tiga pembicara masing-masing Made Mangku Pastika, gubernur Bali terpilih dalam Pilkada Bali, Pande Wayan Suteja Neka, pemilik Museum Neka serta Kun Adnyana seniman yang juga dosen ISI Denpasar. Sarasehan tersebut melibatkan tidak kurang dari 150 peserta yang terdiri atas seniman, budayawan, pengamat seni, pencinta seni dan mahasiswa jurusan seni rupa murni ISI Denpasar.(*)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008