Jakarta (ANTARA News) - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan, royalti yang harus dibayarkan perusahaan pertambangan batubara kepada negara tidak bisa diganti dengan restitusi pajak yang menjadi dalih sejumlah perusahaan yang menunggak itu. "Royalti dari batubara tidak bisa disamakan dengan restitusi PPn (Pajak Pertambahan Nilai)," kata Anggota Badan Pekerja ICW Ridaya La Ode Ngkowe kepada wartawan di Jakarta, Jumat. Untuk itu, ICW juga mengutarakan mengenai kemungkinan adanya perlawanan balik dari berbagai perusahaan pertambangan batubara yang menunggak tersebut. Perlawanan balik itu, ujar dia, bisa dilakukan antara lain dengan membawa kasus royalti batubara ini hingga ke mahkamah arbitrase di tingkat internasional. "Namun, jika dibawa hingga ke tingkat itu, saya kira pemerintah Indonesia masih berada di posisi yang kuat," kata Ridaya. Senada dengan ICW, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada Kamis (7/8) menegaskan bahwa tunggakan royalti batu bara dari perusahaan batu bara kepada negara tidak mungkin ditukar dengan tagihan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) dari perusahaan batu bara. Menurut Menkeu, perjumpaan atau mempertemukan utang kemungkinan besar dapat dilakukan jika dua pihak dimaksud adalah sama-sama perusahaan. "Kalau antar korporasi barangkali perjumpaan itu dimungkinkan, tetapi negara kan bukan `company`, maka harus berada dalam koridor hukum yang ada, koridor hukum untuk royalti sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) berbeda dengan pajak," kata Sri Mulyani. Sebelumnya pemerintah mencekal direksi dan komisaris sejumlah perusahaan batubara karena menunggak pembayaran royalti batubara sejak 2001 hingga 2007. Perusahaan tambang tersebut menunggak royalti dikarenakan pemerintah juga belum membayarkan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) penjualan batubara.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008