Jakarta, (ANTARA News) - Tunggakan royalti batu bara yang seharusnya dibayarkan beragam perusahaan pertambangan batu bara kepada negara mencapai Rp16 triliun, kata Kepala Divisi Pusat Data dan Analisis Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas. "Dari analisis dan perhitungan ICW didapati ternyata tunggakan penerimaan negara selama tahun 2000 - 2007 adalah senilai Rp16,4 triliun. Jumlah ini kurang lebih setara dengan dua kali nilai tunggakan yang disampaikan pemerintah," kata Firdaus kepada wartawan di Jakarta, Jumat. Menurut dia, angka tersebut sebenarnya bisa lebih besar lagi bila digunakan harta rata-rata batu bara internasional untuk menghitung penerimaan dari batu bara yang diekspor, maka akan didapat angka sebesar Rp38,1 triliun. Untuk itu, ICW mengharapkan agar tunggakan penerimaan negara dari royalti batu bara sejak 2001-2007 diaudit kembali oleh berbagai instansi yang kompeten seperti Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) atau lembaga auditor yang independen. "Audit itu sangat diperlukan agar dapat mengetahui secara persis berapa penerimaan negara dari hasil penjualan batubara baik di dalam negeri maupun yang diekspor," kata Firdaus. Selain itu, lanjutnya, audit tersebut akan memberikan gambaran tentang perdagangan batubara dari Tanah Air yang lebih realistis dan menyeluruh. Sebelumnya, Dirjen Mineral, Batubara, dan Panas Bumi Departemen ESDM Bambang Setiawan pada Rabu (6/8) mengatakan, total tunggakan royalti enam perusahaan tambang batu bara mulai 2001 sampai 2007 mencapai Rp7 triliun, atau sekitar separuh dari angka yang dihitung ICW. Bambang juga mengatakan, tunggakan antara 2001-2005 senilai Rp3,8 triliun saat ini tengah ditangani Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara Departemen Keuangan. "Sedang, sisanya Rp3,2 triliiun antara 2006-2007 masih dalam proses penagihan Departemen ESDM," katanya. Keenam perusahaan yang menunggak tersebut merupakan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) generasi pertama, yaitu PT Kaltim Prima Coal, PT Arutmin Indonesia, PT Adaro Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, PT Berau Coal, dan PT BHP Kendilo Coal. (*)
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008