Ke depan, regulasi Indonesia harus lebih fleksibel dan adaptif terhadap pasar sehingga membantu mendorong pertumbuhan ekonomi
Jakarta (ANTARA) - "Dengan berbagai kebijakan, pertumbuhan ekonomi diperkirakan meningkat tajam sejak tahun 2016, menjadi 7,1 persen pada tahun 2017, dan terus meningkat pada tahun 2018 dan 2019 masing-masing sebesar 7,5 persen dan 8 persen".
Data tersebut tercatat jelas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, yang merupakan penjabaran dari visi dan misi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang memenangkan pemilu lima tahun lalu.
Namun, hingga berakhirnya pemerintahan Jokowi-JK menunjukkan realita yang tak senada.
Ekonomi domestik pada 2015 justru tumbuh di bawah lima persen, tepatnya 4,79 persen, meleset dari sasaran 5,8 persen.
Setahun setelahnya, ekonomi juga tak tumbuh setajam yang diprediksikan.
Pada 2016, pertumbuhan ekonomi meningkat dibandingkan tahun sebelumnya tapi hanya menyentuh 5,02 persen, jauh dari proyeksi dalam RPJMN yang mencapai 6,6 persen.
Di titik ini, target pertumbuhan ekonomi dalam RPJMN 2015-2019 semakin tampak tak relevan.
Di saat bersamaan, pertumbuhan ekonomi pun tampak enggan menjauh dari kisaran lima persen, alias stagnan.
Pada 2017 dan 2018, perekonomian domestik masing-masing mencapai 5,07 persen dan 5,06 persen.
Bagaimana dengan 2019 dengan target 8 persen? Kemungkinan besar tak akan jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya realisasinya di level 5 persen.
Paruh pertama tahun 2019 saja, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka pertumbuhan 5,05 persen.
Pemerintah beralasan pelaksanaan RPJMN 2015-2019 menghadapi berbagai tantangan peristiwa ekonomi global seperti krisis utang Yunani, Brexit, ketidakpastian kebijakan Amerika Serikat seperti proteksionisme perdagangan dan normalisasi kebijakan moneter, proses "rebalancing" ekonomi China dan berakhirnya era "commodity boom".
Baca juga: IMF pangkas perkiraan pertumbuhan global 2019 menjadi tiga persen
Meski begitu, Pemerintah mengklaim bahwa perekonomian domestik yang tiap tahunnya tumbuh di kisaran lima persen, dianggap masih lebih baik dibandingkan dengan rata-rata negara berkembang dunia sebesar 4,5 persen per tahun.
Pemerintah juga mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam empat tahun terakhir memang stagnan. Sejak krisis ekonomi 1998, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,3 persen per tahun.
Pemerintah menyadari, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang stagnan tersebut, sulit bagi Indonesia untuk dapat naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi atau mengejar ketertinggalan pendapatan per kapita negara "peers".
Baca juga: Bambang Soesatyo kasih pesan pertumbuhan ekonomi 100 hari pertama
Baca juga: Darmin sebut kualitas pertumbuhan ekonomi membaik lima tahun terakhir
Bappenas dalam kajian "Growth Constraint Study" menyebutkan ada dua faktor utama yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi terhambat, yaitu regulasi dan institusi.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, banyak pelaku usaha yang menilai aturan-aturan yang berlaku di Indonesia masih terlalu kaku dan institusinya cenderung tertutup dan berkualitas rendah dengan adanya masalah korupsi, sehingga membuat investor menjadi galau untuk menanamkan investasi di Tanah Air.
"Kalau sudah kaku dan tertutup, pasti tidak atraktif bagi investor. Ke depan, regulasi Indonesia harus lebih fleksibel dan adaptif terhadap pasar sehingga membantu mendorong pertumbuhan ekonomi," ujarnya.
Lebih realistis
Pada 2020-2024, pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat mencapai 5,4 sampai 6 persen per tahunnya. Sasaran pertumbuhan ekonomi kali ini dapat dikatakan lebih realistis dibandingkan RPJMN sebelumnya.
Pemerintah pun menyebutkan, ekspansi perekonomian lima tahun ke depan akan didorong oleh peningkatan investasi yang ditargetkan tumbuh 6,88 sampai 8,11 persen per tahun.
Untuk mencapainya, investasi swasta, baik asing maupun dalam negeri, akan didorong melalui deregulasi prosedur investasi, sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perizinan, termasuk meningkatkan kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/EoDB) Indonesia dari peringkat 73 pada 2018 menuju peringkat 40 pada 2024.
Peningkatan investasi juga didorong oleh peningkatan investasi pemerintah, termasuk BUMN, terutama untuk infrastruktur.
Selain itu, pemerintah juga akan meningkatkan ekspor barang dengan melakukan revitalisasi industri pengolahan yang mendorong diversifikasi produk ekspor non komoditas dan mengurangi ketergantungan terhadap impor.
Peningkatan juga akan didorong oleh lonjakan ekspor jasa, utamanya jasa perjalanan, melalui pengembangan sektor pariwisata.
Pemerintah berharap, melalui kinerja perdagangan internasional yang membaik, akan mendorong penguatan stabilitas eksternal yang ditandai dengan perbaikan defisit transaksi berjalan menjadi 2 sampai 1,3 persen PDB dan juga peningkatan cadangan devisa menjadi 161,1 miliar dolar AS hingga 184,8 miliar dolar AS pada 2024.
Lagi-lagi pemerintah mengakui, tidak berkembangnya industri pengolahan, berdampak pada kinerja perdagangan internasional Indonesia.
Hingga saat ini, ekspor Indonesia masih didominasi oleh ekspor komoditas dengan jasa transportasi asing, tidak berbeda dengan periode 40 tahun lalu.
Rasio ekspor terhadap PDB juga terus menurun dari 41 persen pada 2000 menjadi 21 persen pada 2018. Akibatnya, Indonesia masih mengalami defisit transaksi berjalan hingga mencapai 3 persen PDB di saat beberapa negara "peers" sudah mencatatkan surplus.
Dari sisi fiskal, pemerintah berkomitmen untuk menjaga APBN yang sehat dengan tetap memberikan dorongan stimulus terhadap perekonomian.
Baca juga: IMF revisi pertumbuhan global, Indonesia masih tumbuh 5,1 persen
Sementara itu, dari sisi moneter, laju inflasi yang rendah dan stabil diharapkan dapat menjaga daya beli dan mendorong konsumsi masyarakat sehingga dapat mendukung akselerasi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
Pemerintah dan Bank Indonesia berkomitmen untuk menjaga tren penurunan laju inflasi rendah dan stabil dalam jangka menengah.
Deretan upaya pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional tersebut, tentu patut didukung sembari diawasi sehingga implementasi RPJMN tak lagi menjadi sekedar basa-basi.
Stagnasi pertumbuhan ekonomi sudah selayaknya lebih serius dicermati.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto mengatakan, apabila yang menjadi tolak ukur keberhasilan pemerintah itu dari RPJMN, maka target perekonomian belum tercapai, jika tidak ingin dikatakan gagal.
“Secara umum paling gampang lihat perekonomian itu di pertumbuhan. Karena pertumbuhan itu merepresentasikan segala aktivitas yang ada di masyarakat," katanya.
Baca juga: Kemenkeu yakin ekonomi RI bertahan meski IMF revisi pertumbuhan global
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2019